#4 MALAM TERAKHIR DI CIBEO, BADUY DALAM

Baduy luar (foto Fathir)
   Perjalanan pulang ke Cibeo Baduy dalam, kaki saya terluka. Kulit jempol kaki kanan mengelupas karena sepatu sandal kurang safety, untung saja kami persiapan P3K. Kejadian ini dapat dijadikan pelajaran bahwa perlengkapan yang safety serta persiapan P3K itu sangat penting. Kurang lebih 2,5 jam dari Cikeusik, akhirnya kami tiba di Cibeo. Tak istirahat lama, karena kami bersiap pindah ke rumah lain. Peraturan Baduy, tak membolehkan tamu menginap lebih dari semalam di satu tempat. Rumah orang tua Teh Sani (istri Yayat) adalah tempat menginap kami di malam kedua ini. Kami tiba di Cibeo sekitar jam 3-an, niat awal sih tidur tapi lelah tiba-tiba hilang kala mendengar suara angklung. Saya, Mbak Yuni dan Lia mencari sumber suara itu dan mendekat, suara angklung ternyata dari anak-anak Baduy yang bermain di balai desa.
Wanita Baduy akan bersama-sama
menumbuk padi dengan alat ini
     Beralih niat dari tidur menjadi menonton pertunjukan angklung hehe. Sebenarnya bukan pertunjukan juga sih, angklung ini biasa dimainkan anak-anak Baduy untuk hiburan. Senangnya melihat anak-anak yang bermain bersama sebayanya. Pemandangan ini sangat langka di daerah saya (Ngawi-Jatim) kebanyakan anak sudah asyik dengan gadget, Baduy dalam tak membolehkan ada gadget. Anak-anak membiarkan kami menonton permainan angklung mereka tapi tak membolehkan kami masuk ataupun ikut bermain, ya sudah tak apa. Puas melihat permainan angklung, kami berkeliling kampung Cibeo, ya meskipun semua rumah sama, tak apalah berharap menemukan hal baru. Sayangnya ada rumah yang tak boleh wisatawan lewati, yakni rumah Pu'un (kepala suku) mereka sangat menghormati dan tak membolehkan kami melewati wilayah Pu'un. Salah satu warga Baduy meneriaki saya agar putar arah dan ada anak yang memegang kayu yang membentuk huruf X, dalam hati "o ini maksud anak itu" lah dia hanya diam memegangi kayu itu, saya tak paham maksudnya.
Setelah cukup lelah keliling Cibeo, saya dan teman-teman duduk santai di teras sambil menikmati minuman hangat dan makanan ringan. Teras rumah di Cibeo terbuat dari bambu utuh yang disusun, cukup nyaman untuk duduk, bambunya berukuran besar.
Baduy luar
 Ada penjual dari luar yang lalu lalang menawarkan minuman dan makanan, ada pula warga Baduy yang menawarkan sovenir. Zaky membeli gelang anyaman kayu (atau rotan, lupa bahannya apa) dari warga Baduy dalam, uniknya gelang itu langsung dianyam ke tangan Zaky dan harganya hanya Rp. 5.000,-. Tak sengaja pula saya bertemu Herman, warga Baduy dalam yang 2017 lalu membersamai perjalanan saya dan rombongan kala itu. Wah seperti reuni, Herman tengah menjajakan dagangannya berupa tenun dan sovenir lain. Saya menanyakan kabar Herman, ternyata dia sudah punya 1 anak, Herman tak ingat dengan saya, tak apa, saya cukup senang bisa kembali ngobrol dengannya.
Masih lekat dalam ingatan, 2017 lalu saat pertama kali ke Baduy kondisi hujan lebat. Kami jalan menuju Cibeo ditemani Yayat dan Herman saat malam hari. Saya sangat ketakutan kala itu, tak pakai alas kaki (*jangan ditiru) karena licin, sepanjang jalan saya pegangan mantel yang dipakai Herman.
Sempat ada obrolan menyebalkan bagi saya, yang ditanggapi enteng oleh Herman.
"Man, di hutan ini gak ada macan kan? atau hewan buas yang makan manusia?" sambil terus jalan di kegelapan malam.
"Gak ada, Teh, tapi kalau siluman, ada" jawab Herman enteng sekali.
Rupanya takdir membawa saya kembali ke Baduy dengan suasana baru, rombongan baru serta pengalaman baru.

***
Petang tiba, kami kembali ambil air wudlu di sungai. Sungai wanita ramai sekali, banyak yang mandi saat petang, ya memang lebih nyaman dan aman mandi petang, kadang rasa khawatir diintip orang saat mandi itu ada, makanya kebanyakan wanita mandi malam hari, saya dan Mbak Yuni juga mandi malam hari.
Kembali ke penginapan kedua, rasanya sama seperti bermalam di rumah sebelumnya. Bagaimana tidak, posisi rumah, sudut ruang, besar rumah semuanya sama. Yang berbeda malam terakhir ini adalah setelah makan malam kami mengadakan forum diskusi dengan tuan rumah. Tuan rumah pada malam pertama masih fasih berbahasa Indonesia tapi kami tak ada diskusi, hanya istirahat saja. Di rumah kedua ini, tuan rumah tak begitu bisa bahasa Indonesia. Apalah daya, di antara kami ber-7 hanya saya yang (agak) bisa bahasa Sunda, dalam forum saya berperan sebagai translator (ala-ala 🤣).
Teman-teman mengajukan pertanyaan bergantian, saya meneruskan pertanyaan mereka ke tuan rumah dengan bahasa Sunda. Tak jarang saya kewalahan dengan penjelasan tuan rumah, saya tanyakan kembali ke Kaldi. Kadang Kaldi bisa menjelaskan kadang dia hanya senyum saja. Kurang lebih 85% saya bisa menangkap hasil diskusi. Semuanya saya rangkum di part #2.
Malam terakhir di Baduy dalam ini sangat berkesan, terutama saat diskusi. Dan esok hari kami harus pulang, melewati spot hits di Baduy yakni jembatan akar. Usai diskusi, kami kembali istirahat dengan penerangan lampu tempel, beralas tikar anyam dan berbantal kapuk yang dimasukkan ke karung. Suasana tentram khas pedesaan.
Bersambung......

Komentar