#3 MENIKMATI KESUNYIAN BADUY DALAM

Jembatan Baduy luar (Foto Fathir)

    Hari kedua di Baduy dalam, tak ada adzan subuh (warga Baduy menganut kepercayaan Sunda Wiwitan) kami bangun jam 05.00 WIB lebih, bergegas ke sungai untuk wudlu. Sungai sangat ramai, ada yang mandi, cuci piring dan lainnya, oy sungai di sini terbagi 2 zona, yakni untuk laki-laki dan wanita keduanya terpisah jauh. Semua rumah di Baduy dalam ini sama, saya selalu bingung bila hendak kembali ke penginapan hehe. Untung saja Mbak Yuni ingat jalan kembali ke penginapan, kami subuh berjamaah di rumah adat (penginapan).
Hah damai rasanya di sini, warga Baduy menggunakan kapas serta minyak goreng untuk penerangan, semacam lampu teplok kalau di Jawa.
kami di rumah mertua Yayat, kampung Cibeo Baduy dalam. Tak ada listrik, tak ada sinyal, hp tak berfungsi, kami tak menyalakan musik juga, guna menghormati agar tak berisik. Hp paling mentok untuk penerangan saat ke sungai, karena di Baduy dalam tak boleh mengambil gambar, merekam video ataupun sekedar suara.

    Sunyi rasanya hanya ada suara alam dan lampu remang-remang ala Baduy. Sejak petang, tuan rumah sudah sangat sibuk di dapur, menyiapkan sarapan untuk kami serta perbekalan. Rencananya di hari kedua ini, kami akan berkunjung ke 2 kampung adat Baduy dalam, yakni Cikertawana dan Cikeusik. Tuan rumah tak membolehkan kami membantu mereka, bahkan sekedar membantu cuci piring di sungai pun tak boleh. Itu cara suku Baduy memuliakan tamu, sembari menunggu sarapan kami melakukan olahraga serta pemanasan, persiapan tracking lagi. Meskipun hari kedua ini sedikit ringan karena kami tak membawa ransel masing-masing. Hanya membawa 1-2 ransel yang berisi logistik, yang kami bawa bergantian.

Momen makan bersama (Foto Fathir)

Kembali dihidangkan dengan menu sederhana ala Baduy, sederhana tapi sangat nikmat karena diselimuti suasana alam yang masih asri. Dan ada sedikit penyesalan "ikan asin" pasalnya kami hanya berbelanja ikan asin sedikit. Hanya cukup untuk bekal saat tracking, tak ada sisa untuk tuan rumah, hah sedih sekali rasanya. Ikan asin itu sebenarnya sudah saya bagi 2 dengan tuan rumah tapi mungkin mereka iba karena kami hanya berbekal sedikit, tuan rumah menolak dan meminta kami membawa semua ikan asin. Yah baiklah untuk pengalaman saja, bila ke Baduy lagi usahakan berbelanja lebih, selain untuk logistik diri sendiri juga untuk warga Baduy. Kami juga belanja kertas minyak dan karet, untuk membungkus perbekalan. Sarapan bersama tuan rumah suku Baduy dalam itu rasanya nikmat sekali, hati meronta-ronta ingin mengabadikan lewat foto hah sayangnya tak boleh, sudahlah semua kenikmatan itu hanya bisa kami rekam lewat ingatan. Semua telah siap menjelajah Cikertawana dan Cikeusik, diantar oleh Kaldi guide lokal dari Baduy luar. Guide lokal kami ini tak banyak bicara, bila ingin menggali informasi harus inisiatif bertanya terlebih dulu, tak jarang si Kaldi hanya menjawab dengan senyuman. Bila ingin mendapat informasi lebih, bisa berdiskusi kepada tuan rumah atau leader guide yang berpengetahuan luas tentang Baduy.

Pukul 08.00 WIB lebih kami memulai tracking, astaga belum apa-apa saya sudah ngos ngosan, kurang pemanasan sepertinya. Baru jalan beberapa menit kita sudah dihadapkan dengan tanjakan dan setelah tanjakan itu usai, ada tanjakan selanjutnya. Saya banyak minum karena cuaca juga sangat panas, hah untung saja kami bawa slayer Baduy, bisa kami manfaatkan untuk melindungi kepala dari panas. Kurang lebih 45 menit berjalan, kami tiba di Kampung Cikertawana. Tak terlihat ada wisatawan menginap, sepi sekali tak seperti Cibeo. Rumah di sini juga sangat sedikit, saya lupa jumlahnya. Hanya ada beberapa warga Baduy yang di rumah, para laki-laki sedang sibuk membuat atap dari daun. Saya mendekati salah satu warga Baduy yang sedang merajut daun untuk atap, teman-teman lain beristirahat di salah satu rumah warga. Saya mencoba mengajak berinteraksi tapi tak ada jawaban, teman-teman memberi kode agar saya menjauh. Usut punya usut ternyata warga Baduy yang saya dekati tadi kepala adat, tak boleh didekati sebagai wujud menghormati.
Menemukan mata air
Perjalanan menuju Cikeusik
(Foto Mbak Yuni)

Tak nyaman rasanya, kami melanjutkan perjalanan ke Cikeusik. Dari Cikertawana ke Cikeusik butuh sekitar 2-3 jam jalan kaki. Kami melewati sungai, sumber mata air dan Saung. Teriknya matahari membuat kami kembali merebahkan badan di saung, ladang tandus sangat panjang, hampir tak ada pepohonan untuk berteduh, menemukan Saung seperti menemukan nafas cadangan. Kami beristirahat sejenak, minum air serta makan camilan karena belum saatnya makan siang. Ada warga Baduy dalam yang menghampiri, seorang laki-laki paruh baya, Pak Jaku namanya. Dia dari Ciboleger hendak pulang ke rumahnya di Cikeusik, ah kebetulan kita bisa berjalan bersama. Seperti laiknya warga Baduy dalam, Pak Jaku tidak mengenakan alas kaki, berpakaian serba hitam putih, memakai ikat kepala putih dan membawa buntelan kain putih yang ia jadikan ransel. Kembali berjalan, Pak Jaku ini jalannya gesit sekali, berbekal niat ingin ngobrol, saya berjalan setengah berlari agar bisa membersamai beliau.

Beliau biasa membawa wisatawan (guide) dan beliau sudah tidak asing dengan makanan atau camilan yang dibawa wisatawan. Kami menawarinya permen mint, rupanya beliau juga biasa makan permen. Kami berpapasan dengan keluarga yang menggarap ladang, ada anak-anak juga, saya permisi untuk memberikan permen ke anak-anak itu. Mereka sempat takut tapi akhirnya permen yang saya sodorkan diterima. Kami kembali melanjutkan perjalanan, ada sungai yang tenang dan jernih, melewati jembatan bambu. Pak Jaku bilang ini kawasan Baduy luar, menyilakan kita untuk berfoto, berikut foto kami bersama Pak Jaku.

Pak Jaku memakaikan ikat kepala Baduy luar
(Foto Mbak Yuni)

Bersama Pak Jaku di depan jembatan perbatasan (Foto Kaldi)


Tak berapa lama Pak Jaku pamit karena telah tiba di kediamannya, ehm lebih tepatnya Saung (di ladang Baduy luar). Kaldi meminta kami kembali mengantongi HP karena masuk kawasan Baduy dalam. Dari kejauhan terlihat atap-atap daun, hah seperti menemukan oase. Entah berapa tanjakan dan turunan yang kami lewati akhirnya kami tiba di Cikeusik. Sedikit lebih ramai daripada Cikertawana. Dan yang lebih melegakan lagi ada yang berdagang Snack di sana. Entah kenapa saya jadi suka minuman cincau instan, gampang sekali ditemukan di Baduy, orang luar Baduy yang membawanya. Mbak Yuni dan Lia langsung menyerbu sungai, sedangkan pelampiasan saya di makan. Zaky dan yang lain memperhatikan kegiatan laki-laki Baduy yang sedang sibuk membuat atap. Atap rumah-rumah di Baduy ini sering diganti karena hanya dibuat dari daun.
Rumah di ke-tiga kampung adat Baduy dalam ini semuanya seragam, rumah panggung sederhana dari bambu, beratap daun.
Matahari tepat di atas kepala kami ingin melaksanakan sholat dhuhur tapi seperti tak ada tempat. Saya mengusulkan di teras rumah yang pintunya dikunci. Pro kontra sih, karena memang tak ada tempat akhirnya semua setuju. Kami semua wudlu di sungai dan benar saja kami dikepung semua mata haha.
Saung Baduy luar saat menuju Cikeusik

Mungkin karena mereka jarang mendapatkan wisatawan menginap dan jarang melihat orang sholat makanya kegiatan kami ini jadi terlihat tak biasa. Dari sini saya menyimpulkan Cibeo adalah kampung adat Baduy dalam yang paling banyak disinggahi serta dijadikan tempat peristirahatan (menginap) wisatawan. Kaldi meminta kami kembali ke rumah karena kami juga harus pindah tempat menginap. Kata Kaldi, tak enak berlama-lama di Cikeusik, jarang ada wisatawan. Dan saya perhatikan juga sepertinya mereka sedikit terganggu dengan kedatangan kami, ada anak yang sampai menangis karena ketakutan melihat orang asing. Kembali berhenti di Saung tempat kami tadi berteduh, melepaskan lelah sembari makan siang. Lauk ikan asin serasa nikmat sekali, setidaknya di sini kami sedikit bisa menghargai makanan dan saling berbagi. Setelah perut cukup terisi kami kembali melewati terik matahari. Saya minta berhenti setelah melewati tanjakan. Terlihat ada darah di kaki saya. Melepaskan kaos kaki rasanya pengen nangis, kulit jempol kaki saya terkelupas karena alas kaki yang saya kenakan kurang safety.
Bersambung......
Medan menuju Cikeusik, masih di area Baduy luar setelah jembatan perbatasan (Foto Mbak Yuni)

Komentar