#3 PENDAKI TAK KASAT MATA, GUNUNG LAWU VIA CANDI CETHO


                
Pos 5 (Bulak Peperangan) dan rumah dupa

          Perjalanan ke gunung Lawu kali ini sebenarnya bisa dibilang lancar, memang ada 3 anggota di rombongan kami tertinggal karena kelelahan namun tak begitu jadi masalah. Awalnya kami mendengar Fajar teriak minta tolong, beberapa dari kami menyusul, membantu membawakan carrier. Rombongan yang tertinggal akhirnya sampai di tenda dan langsung beristirahat. Yang jadi masalah saat ini adalah leader kami hilang, Sinto tanpa pikir panjang langsung  berlari mencari yang tertinggal. Seharusnya sih berpapasan, namun mereka bertiga (Fajar, Fery dan Tria) kami interogasi dan tak satupun yang melihat Sinto turun. Kami membiarkan mereka bertiga beristirahat sisanya berembug. Sinto adalah relawan gunung, dia sudah belasan kali naik gunung Lawu, kami yakin sih dia akan baik-baik saja, namun kondisi gunung tak bisa diabaikan. Sudah 2 jam lebih dan belum ada tanda-tanda dia kembali, kami sepakat bila 3 jam dia belum kembali, kami semua akan turun tangan untuk mencari, kecuali 3 anggota yang kelelahan tadi.
                Saya menunggu sambil memejamkan mata, hanya sekedar terpejam tak benar-benar tidur. Mencoba menerawang keberadaannya. Berkomunikasi dengan Tuhan lewat do’a, melepaskan raga agar beristirahat namun jiwa yang mencari. Dalam bayangan yang tak begitu jelas, ada langkah kaki setengah cepat lalu saya tanya “di mana dia?” seolah-olah ada suara menyahut “Kancamu karo putuku, ngko lak balik” (temanmu bersama cucuku, nanti juga kembali). Seketika saya membuka mata, entah apa yang terjadi saat memejamkan mata tadi, saat itu rasanya sedikit panas, sementara Fitri sambat kedinginan, ini aneh. Spontan bertanya kepada teman-teman apakah Sinto sudah kembali? yang lain hanya menggelengkan kepala. Seperti tersihir, mata saya kembali terpejam, rasanya tak lama terpejam dan Sinto sudah ada di tenda, makan tempe sambil bercerita. Hanya sepotong mendengar ceritanya karena saya sudah benar-benar tidur, lega karena Sinto sudah kembali. Sepulang dari Lawu dia menceritakan kronologinya dan saya sungguh tercengang mendengar ceritanya.
camping ground Gupak Menjangan

                Track dari pos 5 menuju pos sebelum-sebelumnya cuma ada 1 jalur, misal ada jalur bercabang juga tak seberapa jauh, itulah alasan kenapa tadi saya katakan harusnya Sinto berpapasan dengan 3 anggota yang tertinggal. Sebagai leader memang sudah sepantasnya bertanggung jawab atas anggotanya. Namun apa yang dilakukan Sinto ini berbahaya, turun tangan seorang diri untuk mencari, tanpa koordinasi dan tanpa mementingkan keselamatan sendiri. Dia bercerita, beberapa langkah meninggalkan tenda, Sinto berjalan cepat karena hari sudah gelap dan tak ada lagi pendaki yang melakukan tracking. Melewati sabana kondisi jalur sudah sangat sepi, dari kejauhan samar-samar terlihat ada pendaki laki-laki yang berjalan turun. Daripada tak ada kawan, Sinto berjalan lebih cepat untuk mengejarnya, namun seberapa cepat dia berusaha mengejar tetap saja pendaki itu tak terkejar. Meski demikian si pendaki masih terlihat oleh Sinto di balik kabut, bayangan hitam membawa carrier. Sinto merasa melewati jalur yang tak biasa ia lewati belasan kali itu. jalur yang ia lewati sangat mulus, tak ada batu menghadang, tak ada pohon roboh ataupun tanjakan.
                Saking mulusnya sampai tak sadar dia sudah tiba di pos air, bagaimana bisa secepat itu? pikirnya. Terakhir berpapasan dengan 3 anggota kami tadi di pos 4. Lantas Sinto sudah sampai pos air tanpa sadar telah melewati shelter di pos 4, bagaimana bisa tidak sadar melewati bangunan sebesar gubuk di pos 4? Tanpa memusingkan hal itu, Sinto lantas tidur, ia kelelahan. Tanpa jaket, tanpa matras ataupun tenda, Sinto asal saja merebahkan tubuhnya yang kelelahan ke tanah. Kabut tebal, suhu sudah entahlah, ia tak merasa kedinginan sama sekali, cenderung hangat katanya. Lelap ia tidur hingga mendengar ada suara yang membangunkannya “Le, tangi! Kancamu wes turu ning tenda” (Le, bangun! Temanmu sudah tidur di tenda). Spontan terbangun, melihat kiri kanan sama sekali tak ada orang. Dari kejauhan dia kembali melihat bayangan pendaki yang sebelumnya juga ia ikuti.
                Pendaki itu kembali naik, Sinto lagi-lagi mengikutinya, benar-benar tak ada orang lain lagi yang bisa diikuti selain pendaki itu. Dan benar saja, baru juga mulai tracking tapi sabana sudah terlihat. Sinto menoleh ke belakang, ia heran sebenarnya jalur mana yang ia lalui. Rasanya begitu cepat dan mulus. Barulah di dekat sabana, Sinto berpapasan dengan pendaki lain, seorang wanita tanpa senter ataupun headlamp, berjalan seorang diri dalam gelap. Spontan Sinto memberikan headlamp yang ia pakai dan berpesan agar dikembalikan di rumah dupa pos 5. Lantas meninggalkan pendaki wanita tadi dan menoleh ke depan, pendaki laki-laki yang sedari tadi ia ikuti sudah tak terlihat. Siapa pendaki yang sudah menunjukan rute sangat cepat untuk Sinto? Pendaki tak kasat mata? Entahlah hingga saat ini kami semua juga bingung. Tak sepatah katapun keluar hanya untuk sekadar berkenalan, bahkan untuk menunggu langkah Sinto yang lumayan cepat saja ia tak memberikan kesempatan. Pendaki itu masih jadi misteri.
      Terkait pendaki wanita yang barusan ia pinjami headlamp, biasanya Sinto akan membersamai pendaki yang jalan seorang diri, namun kali itu entah dia panik atau bagaimana. Barangkali ingin lekas sampai tenda dan memastikan semua anggotanya selamat tanpa mementingkan orang lain dulu, Sinto meninggalkan pendaki wanita tadi di sabana.
        Namun lagi-lagi Sinto mendapatkan halangan. Ada sosok hitam yang sangat besar memblokade jalan. Sosok itu di depan pohon roboh sebelum area camping ground Bulak peperangan. Langkah Sinto terhenti, dia las dan tertunduk di situ, depan pohon roboh. Sinto bercerita kepada saya, katanya saat itu dia pasrah. Bila kiranya Lawu ingin mengambil raganya, dia sudah ikhlas. Alhamdulillah keikhlasan hati Sinto membuat sosok hitam besar yang memblokade jalan tadi menghilang. Sinto bisa lewat dan kembali meneruskan perjalanan menuju tenda rombongannya.              Sampai di tenda Sinto lega melihat semuanya baik-baik saja. Sinto lantas beristirahat dan bercerita kepada teman-temanya yang khawatir karena ia menghilang. Kurang lebih 2 jam Sinto meninggalkan tenda, ia bercerita kalau tidur di pos air selama 1 jam, berarti total  perjalanan pulang pergi pos 5 hingga pos air 1 jam dan sungguh hal itu sangat mustahil. Sekalipun yang berjalan adalah seorang atlet, tak mungkin waktu tempuh bisa secepat itu.
Tenda yang bisa dipakai hanya 2, karena 1 tenda yang dibawa rombongan Triya, salah frame (tak bisa didirikan) dan 2 tenda itu tak cukup untuk kami ber-10. Lagi-lagi Sinto mengalah, pindah tidur ke rombongan lain yang tendanya masih lega. Keesokan harinya tak ada yang semangat untuk summit setelah kejadian semalam. Namun bagi saya, apapun yang terjadi selagi bisa diatasi, perjalanan harus terus berlanjut hingga puncak. Seusai subuh saya memasak nasi untuk sarapan sebelum summit, beruntung Slamet mau membantu memasak. Narwoto , Fitri dan Slamet bersedia menemani saya summit, seusai masak kami sarapan dan bersiap. Kami berjalan sedang saja, tak lambat dan tak cepat, kurang lebih 1,5 jam sampai puncak. Sembari yang lain menikmati puncak, saya hanya duduk termenung makan buah tomat, alih-alih merenungkan apa yang sudah kami semua lalui.
memasak bersama Slamet sebelum Summit

Puncak Hargo Dumilah Lawu, 3265 MDPL

Sebelum kami kembali ke tenda, saya mengajak mampir ke Hargo Dalem, mampir ke warung legendaris, warung tertinggi di Indonesia, Warung Mbok Yem. Namun kurang beruntung, pecel telur ceplok menu andalan yang dijual Mbok Yem belum matang. Kami harus menunggu cukup lama untuk dapat sarapan (lagi) di warung Mbok Yem. Teman-teman tidak berkenan menunggu, ya sudah saya ikut keputusan mereka saja. Kami menyempatkan mampir ke petilasan Raja Brawijaya V di Hargo Dalem dan rumah botol. Selanjutnya kami berjalan santai kembali ke tenda, melewati Pasar Dieng. Masih lekat di ingatan, bulan januari lalu seorang pendaki bernama Alfi dinyatakan hilang di sekitar Pasar Dieng. Hingga saat ini belum ditemukan, segala upaya sudah dikerahkan namun nihil. Kami berhenti sejenak di Pasar Dieng, menundukan kepala dan mengingat Sang Pencipta, semua ini milik-Nya dan akan Dia ambil sewaktu-waktu.
Mbok Yem sedang memasak telur ceplok

Petilasan di Hargo Dalem

rumah botol

       Sampai di tenda, Sinto kembali bingung melihat headlampnya sudah ada di rumah dupa pagi-pagi buta tadi. Saya berpendapat bahwa pendaki yang ia pinjami headlamp itu bukan benar-benar pendaki. Logikanya bila dia nge-camp di pos 5 (Bulak Peperangan) bersama kami, pendaki wanita itu akan gampang menemui Sinto karena satu lokasi. Bila ia camp di Gupak Menjangan (di atas pos 5) dia akan mengembalikan saat hari sudah terang dan menemui Sinto untuk mengucapkan terima kasih.
Besar kemungkinan headlamp dikembalikan malam itu juga, sehingga pagi buta sebelum saya dan yang lain summits, headlamp sudah ada di rumah dupa. Bukankah seharusnya si pendaki wanita masih membutuhkan headlamp hingga Gupak Menjangan, jarak antara Gupak Menjangan dan pos 5 masih lumayan jauh. Kalau saya pribadi yang jadi pendaki itu, saya pilih menggunakan headlamp hingga Gupak Menjangan dan mengembalikan esok harinya. Intinya mau camp dimanapun harusnya pendaki wanita itu menemui Sinto, tapi kenyataannya headlamp sudah ada di rumah dupa pagi buta. Rombongan kami kembali dirundung misteri. Wallahu’alam bisshowab, kami berdo’a sebelum kembali ke basecamp, syukurlah kondisi semua rombongan sehat dan siap untuk pulang. Meski Triya sempat tertinggal lagi karena kakinya kram, syukurlah Sinto mau membersamainya. Kami berjalan turun secara terpencar, Narwoto, Fajar, Fitri, Slamet, Hanif dan Eko sampai di basecamp terlebih dulu, disusul saya dan Ferry yang sebelumnya mampir ke candi Cetho, kami tiba jam 3 sore. Sekitar jam 5 sore, Sinto dan Triya tiba di basecamp.
Kami mendaki gunung Lawu Via Candi Cetho untuk mengantarkan rumah dupa hingga pos 5. Kami ber-10 saya, Sinto, Hanif, Fajar, Eko, Narwoto, Slamet, Fery, Fitri dan Tria. Rombongan tertinggal tak lagi tertinggal saat pulang, ada perasaan takut, sedih sekaligus bahagia telah menuntaskan misi, semua campur aduk. Yang jelas kami semua percaya, niatan baik akan dibalas kebaikan pula oleh Yang Maha Kuasa, pun sebaliknya. Jangan lupa berdo’a sebelum berangkat ataupun pulang. Do’a akan sangat berguna di gunung dan dimanapun, salam alam bumi pertiwi.


Selesai……
               
               
               




Komentar

Posting Komentar