#2 TEROR GUNUNG LAWU, LEADER KAMI HILANG


               
         Bicara tentang gunung Lawu, tak lepas dari sejarah kerajaan Majapahit yang bercorak Hindu-Budha dan Raja Brawijaya V. Konon Raja Brawijaya V memiliki anak, bernama Raden Patah yang mendirikan kerajaan Demak beraliran islam. Raja Brawijaya V murka dan khawatir kalau kejayaan kerajaan Majapahit akan kalah dengan kerajaan Demak yang didirikan anaknya sendiri. Raja Brawijaya V mengikuti firasatnya yakni melakukan pertapaan di tempat yang sunyi. Puncak gunung Lawu akhirnya menjadi pilihan, ia ke sana seorang diri, saat akan melakukan pendakian ia bertemu dengan Dipa Manggala dan Wangsa Manggala, kepala dusun sekaligus abdi Raja. Sang abdi meminta ijin kepada sang Raja untuk menemani hingga puncak Lawu, lalu berangkatlah mereka ber-3 menuju puncak Lawu. Langkah demi langkah mereka lalui hingga tiba di puncak Hargo Dalem, Raja Brawijaya V meminta kedua adbi yang sangat setia tersebut untuk kembali turun. Selepas perintah itu diucapkan, Raja Brawijaya V menghilang dan jasadnya tak pernah ditemukan hingga saat ini.
***
                Kami ber-10 melangkah terpisah, Slamet dan Fitri sudah jalan terlebih dulu disusul Eko dan Hanif. Lepas dari Candi Cetho nafas mulai susah diatur. Saya Berjalan beriringan dengan Narwoto, Fery, Fajar dan Tria yang tak banyak bicara. Melihat Tria yang lebih banyak diam, ini mengingatkan saya saat mendaki Sindoro pekan lalu, hanya diam dan terus berjalan, sebenarnya saat itu saya kelelahan tapi tak mampu mengungkapkan. Sinto sampai mengira saya ini tuna wicara karena hampir tak bicara selama tracking. Tiba di pos 1, Sinto sudah megap-megap. Tak dipungkiri beban yang dia bawa lumayan berat, rumah dupa yang beratnya sekitar 25kg. Difungskan untuk beribadah umat Hindu dan untuk para peziarah. Teman-teman yang lain sudah menawarkan diri untuk ikut memikul rumah dupa, namun Sinto tidak nyaman membawanya bersama-sama. Yah kami hanya bisa membersamai dan berdo’a. Sampai di pos 2 Tria nampak kelelahan namun tak ada sepatah kalimatpun yang ia utarakan, ia hanya menggigit madu saset.
Sinto tengah membawa rumah dupa

Fery dan Tria di pos 2

               
kalau ada yang menemukan Berry hutan ini di gunung
tak apa, makanlah!
Saya sendiri menyesal, kenapa tak membawa buah. Entah kenapa bila sedang naik gunung atau perjalanan ke manapun yang pertama ingin saya makan adalah buah. Untunglah banyak Berry hutan yang bisa saya petik. Yah meski kecil tapi lumayan buat menambah glukosa. Tips untuk teman-teman, glukosa adalah gula untuk menambah tenaga, bisa dengan makan gula aren atau makanan lain yang mengandung glukosa, hal tersebut berfungi untuk menambah tenaga.
Di tengah perjalanan kedua kaki Tria terkilir. Saya dan Fitri mencoba memberi pertolongan pertama, tak berapa lama Tria bilang sudah lebih baik. Kami kembali melanjutkan perjalanan menuju pos 3. Hanif, Eko dan Sinto sudah jalan terlebih dulu, kami janjian bertemu dan makan siang di pos 3. Masih siang namun kabut mulai turun lalu menghilang, turun lagi dan menghilang, perjalanan kami jadi lebih syahdu apalagi diiringi burung Jalak. Banyak cerita yang beredar bila saat mendaki gunung Lawu diikuti burung Jalak, maka burung tersebut bisa menuntunmu hingga puncak bila diberi makan. Cerita lain menyebutkan bahwa burung tersebut jelmaan dari Wangsa Manggala (Kyai Jalak) salah satu Abdi raja yang mengantar raja Brawijaya V hingga puncak Hargo Dalem.
                Akhirnya kami semua tiba di pos 3, agak naik sedikit maka ada sumber air melimpah atau disebut pos air.
       Di pos air inilah kami ber-10 kembali bertemu, masak, sholat, makan serta istirahat untuk mengembalikan tenaga. Di pos air ini saya mendengar nafas berat laki-laki dewasa, melihat kiri kanan tak ada apa-apa, suara itu kembali terdengar hingga 3x, dalam hati membaca ayat kursi dan terus beristighfar dan suara tersebut hilang dengan sendirinya. Cukup istirahat, kami melanjutkan perjalanan. Kembali terpisah dengan rombongan, saya berjalan berdua dengan Narwoto namun jarak kami tak terlalu jauh dengan Fitri dan Slamet, Sinto kali ini tertinggal dengan Hanif dan yang lain. Di pos 4 saya benar-benar ingin tidur, Fitri yang sudah tiba terlebih dulu memejamkan mata, saya menyusul di samping Fitri sementara yang lain menunaikan sholat ashar. Kalau di pos air kami bisa wudlu, di pos 4 ini sudah tidak ada sumber air, yang ingin menunaikan shalat bisa bersuci dengan tayamum (bersuci dengan debu) hal ini pula yang saya ajarkan pada Fitri saat ia kebingungan bersuci. Cara menentukan arah kiblat berpatokan dengan arah matahari, melihat bayangan dan meraba lumut di pohon. Lumut yang menempel di pohon biasanya berada di sebelah barat, karena sisi pohon sebelah barat lebih lembab. Setelah cukup istirahat dan sholat, Sinto baru tiba di pos 4, dia langsung tidur.
pos air dipenuhi tanaman lamtoro

               

cara menentukan arah kiblat dengan melihat arah bayangan dan lumut di pohon

            Tria tiba di pos 4, kondisi kakinya membaik. Sinto yang terbangun karena tahu rombongan Tria tiba, ia membongkar isi tas Tria yang ternyata membawa tenda dan frame. Beban carrier dikurangi agar Tria bisa berjalan lebih cepat. Melanjutkan perjalanan ke pos 5 dan rencana kami akan camp di atas pos 5, camping ground Gupak Menjangan. Hanif dan Eko yang membawa tenda sudah jalan terlebih dulu. Saya mencoba enjoy dengan sedikit bernyanyi (ehm lebih terlihat bergumam sih) karena sudah mulai bad mood, merasa berjalan cukup lama tapi tak kunjung sampai. Logistik ringan kami sudah mulai habis pun juga tenaga kami, hujan rintik-rintik disertai kabut, saya mulai khawatir. Ada suara yang memanggil saya dari belakang, setelah ditoleh wajahnya nampak asing lalu ia memperkenalkan diri.
                “Halo kak, saya anggota teater Magnit Ngawi, ingat tak?” sapanya singkat.
Tentu saja saya bingung, jumlah anggota teater ini ribuan, saya lulus Aliyah tahun 2010 sedangkan dia mengaku baru lulus 2019 haha jauh sekali, tapi tak apalah kami tetap saudara karena dari almamater yang sama, teater Magnit Ngawi.
                Hari makin gelap, saya mulai merasa sedikit dingin saat memasuki sabana. Memakai jaket tipis serta sarung tangan. Menyalakan senter lalu kembali berjalan, dari kejauhan terdengar teriakan yang memanggil nama saya dan Narwoto,  kami menyahut lalu berjalan cepat mendekati sumber suara. Rupanya Fitri dan Slamet yang sudah duduk santai di pohon roboh dekat camping ground, pohon yang lumayan besar. Akhirnya sampai juga, kaki sudah lemas, tak ingin banyak bicara hanya ingin tidur. Datanglah Hanif dari arah lain yang meminta kami terus berjalan kira-kira satu jam lagi menuju camping ground atas (Gupak Menjangan), saya langsung menyerah lagipula Tria, Fajar dan Fery belum tiba, apa mereka baik-baik saja?
Sinto menancapkan rumah dupa di pos 5

                Akhirnya kami memutuskan mendirikan tenda di pos 5 (Bulak Peperangan), sementara rombongan laki-laki mendirikan tenda, Sinto menancapkan rumah dupa di pos 5, saya rebahan di semak-semak, sudah tak berdaya. Tak berapa lama tenda sudah berdiri, Fitri yang sedari tadi kedinginan masuk tenda terlebih dulu, saya menyusul. Tenda kami sebenarnya ada 2 namun rombongan Tria membawa tenda sendiri, untunglah tenda dari rombongan Tria sudah kami bawa tapi ternyata salah frame, tenda tak bisa didirikan. Tak cukup sampai di situ, Tria, Fajar dan Fery belum juga sampai, sudah satu jam lebih setelah kami tiba. Sinto sebagai leader dia merasa bertanggung jawab atas mereka bertiga, tanpa pikir panjang Sinto lari, kembali ke pos bawah untuk mencari rombongan yang tertinggal. Kami sudah melarangnya mencari seorang diri namun omongan kami tak digubris. Hari makin gelap, kalau tidak salah saat itu pukul 19.30 WIB. Selang beberapa menit ada suara Fajar minta tolong, kami semua panik dan lari ke arah Fajar. Mendapati Tria, Fajar dan Fery, hanya Fajar yang masih kuat berdiri, sisanya harus dibopong karena kelelahan dan yang lain membawakan carrier mereka. Lalu di mana Sinto?
Bukannya seharusnya mereka bertiga berpapasan? Dan Sinto hilang, kami kembali panik.


Bersambung......

Komentar