#1 GUNUNG LAWU HOROR? PENDAKIAN LAWU VIA CANDI CETHO


               
       Gunung Lawu berada di antara Jawa Timur dan Jawa Tengah, gunung ini masih aktif. Mendaki Lawu Via Cemoro Sewu akan mendapati penjual makanan, di setiap pos terdapat warung, ada pula shelter untuk beristirahat para pendaki. Sebelum puncak para pendaki juga akan mendapati sumber mata air (Sendang Drajat), ini kabar baik bagi pendaki yang kehabisan air. Cemoro Sewu juga disebut sebut sebagai jalur terpendek pendakian Lawu. Gunung Lawu adalah gunung yang pertama kali saya daki bersama 3 kawan, Pitaloka, Rully dan Desta. Di antara kami ber-4 hanya Pitaloka yang sudah pernah naik gunung, kami mendaki sekitar tahun 2016 dan sampai puncak dengan payah. Tidak membawa tenda, nesting, carrier, logistik berat, sleeping bag dan peralatan gunung lain. Kami menumpang tidur di warung, pendakian Lawu Via Cemoro Sewu.
Perjalanan itu kembali saya ulangi dengan kawan lain, mereka bertiga entah di mana sekarang. Awalnya tim kami cuma ber-7, leader Sinto. Hanif, Slamet, Eko, Narwoto, Fitri dan saya sebagai anggota. Sempat was was dengan jumlah ganjil rombongan. Mitos di Lawu tidak boleh mendaki dengan jumlah rombongan yang ganjil, memakai baju berwarna hijau serta blacklist untuk pendaki yang berasal dari kabupaten Cepu. Namun Sinto menyangkal semua pantangan itu, dia sudah 14 kali mendaki Lawu dengan jumlah rombongan ganjil ataupun genap dan semua baik-baik saja, wallahu’alam.
Meeting Point di UNS (Universitas Sebelas Maret) Solo, saya satu-satunya peserta yang berasal dari Ngawi, Sinto dan yang lain naik motor dari Jogja. Saya yang lebih dulu sampai di UNS, sembari menunggu yang lain, rebahan di depan gapura. Ada laki-laki yang mendekati saya dengan langkah ragu-ragu, wajahnya tak asing, rupanya itu Joko, kawan dari Ngawi yang bekerja di Solo. Joko tahu, minggu lalu saya baru saja mendaki gunung Sindoro dan dia geleng-geleng saat melihat saya tengah nenteng carrier lagi. Tawa kami pecah saat saya dibully Joko, ah sial ketemu adek ini, jadi ketahuan kan hihi pikir saya waktu itu. Tak berapa lama rombongan dari Jogja tiba, saya baru berkenalan dengan mereka kecuali Sinto dan Hanif yang sebelumnya kenal di gunung Sindoro. Selepas berkenalan, yang lain meregangkan otot sedangkan saya dan Sinto ke pasar berbelanja bahan makanan yang nantinya akan kami masak di gunung Lawu.
pasar tradisional Solo

Kami patungan untuk membeli sayur, saya bertugas menentukan menu, namun jujur saat itu blank mau belanja apa. Saya tak tahu selera mereka dan mereka ingin menu apa, Sinto memberi saran agar saya membeli tempe dan sosis. Baiklah, masalah pertama tuntas, kami kembali ke UNS dan timbul masalah kedua, mereka ber-6 dari Jogja membawa 3 motor, itu artinya saya tidak mendapat jatah motor karena dari Ngawi naik bus. Jarak lumayan jauh, Solo-Karanganyar merupakan kota yang tertib berlalu lintas, tak mungkin bila salah satu dari kami boncengan 3. Untunglah Joko mau mengantar saya sampai Karangpandan, hahay ada untungnya juga rupanya ketemu dia. Pukul 23.30 WIB kami berpisah dengan Joko, saya pribadi mengucapkan banyak terima kasih padanya, ah sayang sekali saya melewatkan kesempatan untuk memotret Joko. “Sampai ketemu di Ngawi, Dek Joko” ucap saya sebelum ia pergi.
basecamp Lawu Barokah

Dari Karangpandan barulah rombongan berani bonceng 3, sudah area aman kata mereka. Sinto, Eko dan Hanif mengalah, mereka bertiga naik 1 motor. Saya dibonceng Narwoto sedangkan Fitri dibonceng Slamet. Tak begitu jauh memang tapi tanjakannya membuat Hanif turun sejenak, motor yang ia naiki tak bisa nanjak lagi. Kami tiba di basecamp Candi Cetho, Sinto kembali lagi untuk menjemput Hanif yang sempat turun dari motor. Setelah semua tiba di basecamp kami menghadapi masalah ketiga, tidak ada tempat untuk beristirahat, karena weekend, basecamp sangat penuh. Impian saya untuk rebahan setiba di basecamp mendadak kandas. Tak putus asa, sebagai leader, Sinto mencari tempat yang sebenarnya kurang lazim disebut tempat sih karena itu akses menuju toilet dan rombongan kami menutup akses itu. Pengunjung basecamp yang akan ke toilet harus putar arah karena ada rombongan kami yang gelar tikar. Rombongan cowok mengeluh kelaparan, sedangkan Fitri langsung ambil tempat untuk tidur, niatnya saya ingin nyusulin Fitri namun tak tega, saya harus masak untuk rombongan. Menu nasi goreng, yang lain menyiapkan bahan-bahannya sedangkan saya yang meracik bumbu. Sebisa mungkin kami masak dan makan dengan cepat agar bisa lekas istirahat menyiapkan tenaga untuk esok harinya agar siap mendaki.
***
Dari dulu hingga kini, gunung Lawu terkenal dengan mitos angkernya dan saya rasa itu bukan sekedar mitos sih, karena saya sendiri pernah mengalaminya saat pertama mendaki Lawu pada tahun 2016. Menuju pos 5 via Cemoro Sewu, saya mendengar keriuhan seperti suasana pasar, niat hati ingin beli buah (pisang) mendadak saya lari kencang menerjang semak-semak untuk mendekati sumber suara yang sebenarnya tidak ada, untung saja waktu itu Pitaloka menarik saya dari semak-semak, tak bisa membayangkan akhirnya bila tak ada Pitaloka saat itu. Menurut kawan pendaki, saya sedang terkena pasar setan, bila suara keriuhan pasar diikuti maka yang mengikuti tersebut akan hilang dan tak akan pernah kembali, huft ngeri. Bulan januari lalu tepatnya tanggal 2, ada seorang pendaki bernama Alfi yang hilang di Lawu dan belum ditemukan sampai sekarang. Terlepas dari itu semua memang sudah sepantasnya kita menjaga ucapan, sikap serta meluruskan tujuan bila hendak mendaki gunung. Sebenarnya tidak hanya di gunung saja sih, tindakan baik tersebut bisa digunakan saat kita berada di mana saja.
Kami ber-7 bertemu dengan Fajar, Fery dan Tria, mereka rombongan dari Semarang dan Pekalongan. Rupanya Fajar sudah kenal Fitri lewat media sosial instagram, Fitri dan Fajar saling DM Instagram dan janjian bertemu di basecamp. Sinto mengajak mereka untuk bergabung dan jadilah kita ber-10. Sebenarnya pendakian kali ini bukan hanya puncak yang jadi tujuan, namun Sinto punya niatan menjadi relawan yang akan membawa rumah dupa hingga pos 5 (Gupak Menjangan). Rumah dupa tersebut beratnya mencapai 25kg, entah bagaimana nanti cara membawanya, kami berniat membersamai Sinto dalam pendakian serta menuntaskan misi baiknya. Rumah dupa akan ditancapkan di pos 5, sepanjang pos terdapat rumah dupa untuk beribadah kaum Hindu serta berziarah. 
Pendakian-pun dimulai pagi harinya, kami berdo’a menurut kepercayaan masing-masing. Meski ada terselip sedikit ragu karena beban rumah dupa, namun dengan tekat bulat semoga bisa sampai pos 5 dengan selamat. Lagkah kecil dimulai, sedikit demi sedikit kami menjauh dari candi Cetho, menuju puncak Lawu yang masih sangat jauh.
               
Bersambung......
dari kiri Eko, Narwoto, Sinto, Slamet, Fajar, Tria, Fitri, Fery, saya, minus Hanif

Berdo'a sebelum memulai pendakian

Loket pendaftaran
Masak di basecamp

Komentar