 |
| Bukan karena ada hajatan ya, ini suasana Ramadan di Trenggalek |
Terminal
Ponorogo menjadi tempat persinggahan awal sebelum ke Trenggalek, banyak bus berjajar
bertuliskan tujuan akhir Trenggalek, bus tanpa AC. Hanya bisa berdo’a semoga
tidak mabuk darat dan puasa ramadan bisa lancar sampe bedug magrib. Meski
sering jalan, sindrom mabuk ini susah dihilangkan terlebih bila kondisi bus
kurang nyaman, saya biasa mengenakan masker (tutup hidung) untuk meminimalisir
hal tersebut. Kendaraan umum akan ditumpangi oleh beragam manusia, mulai yang
bau wanginya biasa saja, bau-bau ringan hingga sangat menyengat yang sering bikin
pusing. Namun di perjalanan menuju Trenggalek, bukan masker yang saya kenakan
melainkan
niqab (cadar untuk kaum muslimah). Ini juga menjadi pertanyaan
teman-teman, saat saya mengupload foto diri ke sosial media, kenapa saya
memakai niqab?
Ide
tersebut berawal saat pulang dari Lamongan kemarin. Bus menuju Bojonegoro yang
saya tumpangi terlihat sepi, masih tersisa banyak kursi kosong. Duduk sendiri
di samping jendela, ada laki-laki paruh baya minta ijin duduk di sebelah saya,
padahal masih banyak kursi kosong, sayapun pindah kursi. Kejadian itu bukan
kali pertama, ada yang sampai minta kenalan, tanya ini itu tanpa tahu maksud
dan tujuan, untuk perjalanan jauh saya rasa hal itu sangat membuat tidak
nyaman. Bisa dibilang menggunakan niqab merupakan eksperimen, bagaimana islam
melindungi kaum wanita. Rupanya benar, sepanjang perjalanan menuju Trenggalek
tak ada yang mendekati saya kecuali wanita. Ada seorang wanita duduk di sebelah
saya, entah tadi dia naik dari mana.
“Mau
kemana kamu, Suci?” dia Suci yang serumah dengan sahabat saya di Ponorogo, Suci
mengabdi di sana, saya mengenalnya.
 |
| saya dan Suci di bus menuju Trenggalek |
Suci
heran, kenapa wanita ber-niqab di sebelahnya tahu namanya, lalu saya
ajak ngobrol dengan terus memanggil namanya tanpa membuka niqab.
Akhirnya Suci mengenali suara saya, dia tak bertanya hanya memajang wajah
heran. Sedikit menjelaskan padanya, hanya ingin aman saja saat di kendaraan
umum, ia hanya tertawa kecil dan mengangguk. Suci turun terlebih dulu, dia
bilang perjalanan saya menuju Trenggalek masih jauh. Sepanjang jalan nampak
hamparan hijau yang menyejukkan mata, bukit, pohon nyiur, perkebunan, pemandangan
itu mengingatkan saya pada perjalanan menuju Bandar Lampung Februari kemarin.
Hamparan bukitnya sama, saat sadar ini masih di Jawa, ingin rasanya kembali
menginjakkan kaki di pulau seberang. Bus
yang saya tumpangi berhenti di pemberhentian terakhir, terminal Trenggalek.
Lutfi,
sahabat yang saya temui di Trenggalek meminta agar menunggunya di terminal,
rupanya dia di sebrang terminal. Lutfi terlihat dari kejauhan,
celingak
celinguk mencari seseorang. Sampai saya tepuk pundaknya, dia baru sadar
lalu tertawa sejadi-jadinya, saya yang dianggap pecicilan dirasa kurang cocok
mengenakan niqab. Ya memang, tapi eksperimen itu menyadarkan bahwa mereka yang
ber-niqab insyaalloh terjaga. Dibonceng motor menuju rumah Lutfi yang masih
lumayan jauh, saya tidak bisa melakukan ritual saat menapaki daerah baru, yakni
meneriakan nama daerah tersebut. Biasanya saya akan berteriak sejadi-jadinya
saat sepi kendaran atau sangat bising, meminimalisir malu aja sih hihhi. Waktu
di Lampung saya teriak “huaaaah Lampung”, begitupun di Sampit, Bandung,
Pangkalan Bun dan daerah lain. Mencoba menghormati mereka yang istiqomah
berniqab saja sih, menahan diri untuk tidak teriak-teriak karena saya masih
mengenakan niqab.
 |
| kediaman keluarga Lutfi |
 |
| pemandangan dari samping rumah Lutfi, gunung dan nampak hijau pepohonan, hah indahnya... |
Trenggalek ini kota yang nggak
biasa-biasa saja saat menyambut Ramadan apalagi jelang lebaran. Suasana Ramadan
di Trenggalek sangat unik, masyarakat Trenggalek akan menghiasi rumah mereka,
memasang banyak umbul-umbul dan lampu di jalan. Hal baru bagi saya, sepanjang
perjalanan menuju rumah Lutfi juga terlihat hamparan bukit, sungai khas
pedesaan, sejuk sekali. Sampai di kediaman Lutfi saya dikenalkan dengan kedua
orang tuanya dan kedua adiknya, Nisa dan Ifa. Ijin istirahat hingga jelang
berbuka, lumayan pusing kepala saya.
Keramahan masyarakat Trenggalek
masih berlanjut saat salat tarawih, ada beberapa jamaah yang membawa takjil. Sembari
menunggu adzan mereka aka duduk berdampingan, makan takjil sambil ngobrol. Kehadiran
saya disambut hangat oleh jamaah di mushala dekat rumah Lutfi. Salat isya’ dan
sunnah dilaksanakan secara tenang, tak terlalu cepat ataupun lambat. Tak perlu
kipas dan AC di mushala, angin yang membawa sedikit hawa dingin sudah cukup
bagi para jamaah, tak ada yang mengeluh kegerahan. Seusai salat kami berjalan
pulang beriringan, sebagian ada yang masih tinggal di mushala untuk mengaji. Perjalanan
pulang ke rumah Lutfi, mata hampir tak berkedip karena di sana sini banyak
lampu hias, meriah sekali Ramadan di kampung halaman Lutfi.
 |
suasana salat tarawih di mushola dekat rumah Lutfi
|
 |
menikmati takjil kolak, sambil ngobrol bersama warga lokal Trenggalek rasanya seneng banget hehe |
***
 |
kacang sangrai, kata ibunya Lutfi akan sangat banyak manfaatnya. kacang ini sebagian untuk bahan membuat jajan, coklat kacang |
Suasana
pagi sudah ramai, rupanya keluarga Lutfi tengah sibuk di dapur membuat aneka
jajanan. Selain menghias jalan, membuat jajanan untuk lebaran juga menjadi
tradisi masyarakat Trenggalek, kalau di tempat saya tradisinya beli jajan hehe.
Tak lama kami di dapur, Lutfi mengajak saya ke pantai Bayem dan pantai Klatak
yang berada di kabupaten Tulungagung. Karena malas ganti baju, saya piknik ke
pantai dengan masih menggunakan daster yang dipinjami Lutfi. Piknik kali ini
saya beri judul “Daster Challenge”, selain menguji mental saya juga untuk menguji
mental Lutfi haha. Pantai Bayem lokasinya cukup jauh, sekitar 2 jam perjalanan.
Setelah sampai di lokas, terdapat banyak gazebo di sana, pengunjung lumayan
ramai. Satu hal yang sangat disayangkan, sampah masih bertebaran dimana-mana.
Suasana
damai pantai selalu berhasil menyihir rasa kantuk, memejamkan mata sejenak di
bawah pohon cemara. Deburan ombak berhasil buat saya betah di Trenggalek, eh
pantainya di Tuluagung deng hehe. Belum puas dengan lokasi pantai pertama,
Lutfi mengajak saya ke pantai kedua, Pantai Klatak. Lokasinya tak jauh dari
pantai Bayem, tepatnya di Desa Keboireng, Kecamatan Besuki, Kabupaten
Tulungagung.
Suasana di pantai Klatak
kala itu sedang sepi pengunjung, banyak bebatuan karang dan perahu nelayan. Yang
menjadi daya tarik pantai Klatak justru dari batu-batu karang yang ada di
pantai tersebut. Batu yang apabila terkena ombak akan mengeluarkan bunyi “Klatak”
mungkin dari situlah disebut pantai Klatak. Pantai ini dikelola secara swadaya
oleh masyarakat sekitar.
 |
| Pantai Bayem, Tulungagung |
Sayangnya pemandangan sampah masih
terlihat di beberapa titik padahal disediakan tempat sampah. Meski begitu
pantai Klatak tetap damai, karangnya, ombak, pemandangan perahu nelayan yang
tidak setiap hari bisa ditemui, membuat betah berlama-lama di pantai Klatak,
kami pulang agak sore. Trenggalek yang berbatasan dengan Ponorogo dan
Tulungagung ini memiliki hamparan alam nan hijau, dimana-mana bukit. Saya betah
melewati Ramadan di Trenggalek, harusnya hari ini saya pulang namun karena
damai, saya ijin Lutfi untuk satu hari lagi tinggal di kampung halamannya.
 |
| Pantai Klatak, Tulungagung |
Komentar
Posting Komentar