#1 RAMADAN DI TRENGGALEK DAN TULUAGUNG


      
Bukan karena ada hajatan ya, ini suasana Ramadan di Trenggalek
Terminal Ponorogo menjadi tempat persinggahan awal sebelum ke Trenggalek, banyak bus berjajar bertuliskan tujuan akhir Trenggalek, bus tanpa AC. Hanya bisa berdo’a semoga tidak mabuk darat dan puasa ramadan bisa lancar sampe bedug magrib. Meski sering jalan, sindrom mabuk ini susah dihilangkan terlebih bila kondisi bus kurang nyaman, saya biasa mengenakan masker (tutup hidung) untuk meminimalisir hal tersebut. Kendaraan umum akan ditumpangi oleh beragam manusia, mulai yang bau wanginya biasa saja, bau-bau ringan hingga sangat menyengat yang sering bikin pusing. Namun di perjalanan menuju Trenggalek, bukan masker yang saya kenakan melainkan niqab (cadar untuk kaum muslimah). Ini juga menjadi pertanyaan teman-teman, saat saya mengupload foto diri ke sosial media, kenapa saya memakai niqab?
                Ide tersebut berawal saat pulang dari Lamongan kemarin. Bus menuju Bojonegoro yang saya tumpangi terlihat sepi, masih tersisa banyak kursi kosong. Duduk sendiri di samping jendela, ada laki-laki paruh baya minta ijin duduk di sebelah saya, padahal masih banyak kursi kosong, sayapun pindah kursi. Kejadian itu bukan kali pertama, ada yang sampai minta kenalan, tanya ini itu tanpa tahu maksud dan tujuan, untuk perjalanan jauh saya rasa hal itu sangat membuat tidak nyaman. Bisa dibilang menggunakan niqab merupakan eksperimen, bagaimana islam melindungi kaum wanita. Rupanya benar, sepanjang perjalanan menuju Trenggalek tak ada yang mendekati saya kecuali wanita. Ada seorang wanita duduk di sebelah saya, entah tadi dia naik dari mana.
                “Mau kemana kamu, Suci?” dia Suci yang serumah dengan sahabat saya di Ponorogo, Suci mengabdi di sana, saya mengenalnya.
saya dan Suci di bus menuju Trenggalek

                Suci heran, kenapa wanita ber-niqab di sebelahnya tahu namanya, lalu saya ajak ngobrol dengan terus memanggil namanya tanpa membuka niqab. Akhirnya Suci mengenali suara saya, dia tak bertanya hanya memajang wajah heran. Sedikit menjelaskan padanya, hanya ingin aman saja saat di kendaraan umum, ia hanya tertawa kecil dan mengangguk. Suci turun terlebih dulu, dia bilang perjalanan saya menuju Trenggalek masih jauh. Sepanjang jalan nampak hamparan hijau yang menyejukkan mata, bukit, pohon nyiur, perkebunan, pemandangan itu mengingatkan saya pada perjalanan menuju Bandar Lampung Februari kemarin. Hamparan bukitnya sama, saat sadar ini masih di Jawa, ingin rasanya kembali menginjakkan kaki di pulau seberang.  Bus yang saya tumpangi berhenti di pemberhentian terakhir, terminal Trenggalek.
                Lutfi, sahabat yang saya temui di Trenggalek meminta agar menunggunya di terminal, rupanya dia di sebrang terminal. Lutfi terlihat dari kejauhan, celingak celinguk mencari seseorang. Sampai saya tepuk pundaknya, dia baru sadar lalu tertawa sejadi-jadinya, saya yang dianggap pecicilan dirasa kurang cocok mengenakan niqab. Ya memang, tapi eksperimen itu menyadarkan bahwa mereka yang ber-niqab insyaalloh terjaga. Dibonceng motor menuju rumah Lutfi yang masih lumayan jauh, saya tidak bisa melakukan ritual saat menapaki daerah baru, yakni meneriakan nama daerah tersebut. Biasanya saya akan berteriak sejadi-jadinya saat sepi kendaran atau sangat bising, meminimalisir malu aja sih hihhi. Waktu di Lampung saya teriak “huaaaah Lampung”, begitupun di Sampit, Bandung, Pangkalan Bun dan daerah lain. Mencoba menghormati mereka yang istiqomah berniqab saja sih, menahan diri untuk tidak teriak-teriak karena saya masih mengenakan niqab.
kediaman keluarga Lutfi
pemandangan dari samping rumah Lutfi, gunung dan nampak hijau pepohonan, hah indahnya...

Trenggalek ini kota yang nggak biasa-biasa saja saat menyambut Ramadan apalagi jelang lebaran. Suasana Ramadan di Trenggalek sangat unik, masyarakat Trenggalek akan menghiasi rumah mereka, memasang banyak umbul-umbul dan lampu di jalan. Hal baru bagi saya, sepanjang perjalanan menuju rumah Lutfi juga terlihat hamparan bukit, sungai khas pedesaan, sejuk sekali. Sampai di kediaman Lutfi saya dikenalkan dengan kedua orang tuanya dan kedua adiknya, Nisa dan Ifa. Ijin istirahat hingga jelang berbuka, lumayan pusing kepala saya.
Keramahan masyarakat Trenggalek masih berlanjut saat salat tarawih, ada beberapa jamaah yang membawa takjil. Sembari menunggu adzan mereka aka duduk berdampingan, makan takjil sambil ngobrol. Kehadiran saya disambut hangat oleh jamaah di mushala dekat rumah Lutfi. Salat isya’ dan sunnah dilaksanakan secara tenang, tak terlalu cepat ataupun lambat. Tak perlu kipas dan AC di mushala, angin yang membawa sedikit hawa dingin sudah cukup bagi para jamaah, tak ada yang mengeluh kegerahan. Seusai salat kami berjalan pulang beriringan, sebagian ada yang masih tinggal di mushala untuk mengaji. Perjalanan pulang ke rumah Lutfi, mata hampir tak berkedip karena di sana sini banyak lampu hias, meriah sekali Ramadan di kampung halaman Lutfi.
suasana salat tarawih di mushola dekat rumah Lutfi
menikmati takjil kolak, sambil ngobrol bersama warga lokal Trenggalek
rasanya seneng banget hehe

***
               
kacang sangrai, kata ibunya Lutfi akan sangat banyak manfaatnya.
kacang ini sebagian untuk bahan membuat jajan, coklat kacang
Suasana pagi sudah ramai, rupanya keluarga Lutfi tengah sibuk di dapur membuat aneka jajanan. Selain menghias jalan, membuat jajanan untuk lebaran juga menjadi tradisi masyarakat Trenggalek, kalau di tempat saya tradisinya beli jajan hehe. Tak lama kami di dapur, Lutfi mengajak saya ke pantai Bayem dan pantai Klatak yang berada di kabupaten Tulungagung. Karena malas ganti baju, saya piknik ke pantai dengan masih menggunakan daster yang dipinjami Lutfi. Piknik kali ini saya beri judul “Daster Challenge”, selain menguji mental saya juga untuk menguji mental Lutfi haha. Pantai Bayem lokasinya cukup jauh, sekitar 2 jam perjalanan. Setelah sampai di lokas, terdapat banyak gazebo di sana, pengunjung lumayan ramai. Satu hal yang sangat disayangkan, sampah masih bertebaran dimana-mana.
                Suasana damai pantai selalu berhasil menyihir rasa kantuk, memejamkan mata sejenak di bawah pohon cemara. Deburan ombak berhasil buat saya betah di Trenggalek, eh pantainya di Tuluagung deng hehe. Belum puas dengan lokasi pantai pertama, Lutfi mengajak saya ke pantai kedua, Pantai Klatak. Lokasinya tak jauh dari pantai Bayem, tepatnya di Desa Keboireng, Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung.  Suasana di pantai Klatak kala itu sedang sepi pengunjung, banyak bebatuan karang dan perahu nelayan. Yang menjadi daya tarik pantai Klatak justru dari batu-batu karang yang ada di pantai tersebut. Batu yang apabila terkena ombak akan mengeluarkan bunyi “Klatak” mungkin dari situlah disebut pantai Klatak. Pantai ini dikelola secara swadaya oleh masyarakat sekitar.
Pantai Bayem, Tulungagung

Sayangnya pemandangan sampah masih terlihat di beberapa titik padahal disediakan tempat sampah. Meski begitu pantai Klatak tetap damai, karangnya, ombak, pemandangan perahu nelayan yang tidak setiap hari bisa ditemui, membuat betah berlama-lama di pantai Klatak, kami pulang agak sore. Trenggalek yang berbatasan dengan Ponorogo dan Tulungagung ini memiliki hamparan alam nan hijau, dimana-mana bukit. Saya betah melewati Ramadan di Trenggalek, harusnya hari ini saya pulang namun karena damai, saya ijin Lutfi untuk satu hari lagi tinggal di kampung halamannya.
Pantai Klatak, Tulungagung


               

Komentar