#5 TERJEBAK CINTA DI BANDAR LAMPUNG


Pagi di Lampung rasanya damai, tersenyum hangat menyambut mentari, sehangat orang-orang yang ada di sni. Mertua Gita masak tumis pete cumi, ikut menyiapkan bumbu sembari ngobrol. Ngobrol dengan warga lokal adalah moment berharga bagi saya, sepertinya saya sudah terjebak cinta di Bandar Lampung. Menggali budaya dan kearifan lokal warga asli Lampung, mengenal daerah yang saya tinggali saat itu. Semua penghuni rumah mulai beraktifitas di luar, hingga tinggal saya dan Sela di rumah. Mengingat Gita ngajak jalan masih siang nanti, maka saya agendakan untuk tidur setelah bersih-bersih diri. Terombang ambing di selat, serta ngebut di iringan mobil jenazah, rupanya membuat saya cukup teler.
                Sela ini anaknya pendiam, dia setinggi saya (ehm maksudnya tipe wanita dengan tinggi 150-an).Ah sayang saya tidak ada foto bareng Sela. Sela bekerja di salah satu swalayan yang ada di Bandar Lampung, pagi itu dia sibuk menyetrika baju. Sembari menunjukkan video yang berisi destinasi mana saja yang saya incar di Lampung, saya coba membuka obrolan dengan Sela. Museum Lampung, Way Kambas, industri kain Tapis, Tugu perbatasan adalah lokasi-lokasi yang ingin saya kunjungi. Kata Sela, tugu Bandar Lampung tak seberapa jauh, pun juga Museum Lampung. Tiba-tiba  di depan rumah ada Mas Pit yang saat itu ijin tidak masuk kerja, astaga saya belum mandi (dan tidur juga sih hehe). Ya karena terlanjut dijemput, siap-siaplah saya, tujuan kami ke tugu Bandar Lampung.
                Sekitar sepuluh menit perjalanan, kami tiba di tugu Bandar Lampung atau biasa disebut bundaran. Tugu ini sebagai penanda bagi seseorang yang akan memasuki kawasan Bandar Lampung dari arah Rajabasa. Disebut bundaran karena memang terdapat jalan yang melingkar, pusat kendaraan yang akan masuk kawasan Bandar Lampung serta yang akan meninggalkan kota tersebut. Lokasi tugu tak jauh dari terminal Rajabasa dan museum Lampung. Saya langsung bergegas menyiapkan tripod, kamera, cari sudut yang pas untuk ambil gambar. Kurang lebih satu jam berada di tugu (haha lama banget). Nampak lafadz Tahlil "Laa ilaha Illallah", Siger, serta aksara asing (semacam aksara kuno Lampung). Di depan tugu juga terdapat patung Radin Inten, salah satu pahlawan yang ikut membela tanah Lampung. Niat mampir museum kami urungkan, nanti saja menunggu Gita dan Mas Jep pulang, pikir kami. Saya lantas istirahat, Mas Pit juga kembali pulang ke rumahnya.
                Siang itu Sela pamit berangkat kerja, waah saya benar-benar sendiri saat itu. Untunglah tak lama Gita pulang, disusul Mas Jep, Gita yang tengah hamil muda ingin istirahat dulu, kami memutuskan kencan sore harinya (ciyeeh kencan).  Baik Gita, Mas Jep, Mas Pit ini tergabung dalam sebuah komunitas, RCB (Ragam Cerita Bersama) namanya. Mereka akan saling posting tulisan di website RCB, isinya ya macam-macam, ada puisi, catatan perjalanan, atau apapun yang ingin mereka tulis, hah seru punya komunitas yang orang-orangnya kompak gini. Sore itu saya diajak ke taman kota, dan dikenalkan macam-macam rumah adat tiap kota dan kabupaten. Lampung memiliki 2 kota, yakni Bandar Lampung dan Metro, dan 13 Kabupaten, Bandar Lampung merupakan ibukota Provinsi Lampung. Awalnya saya pikir itu gedung pemerintahan, ternyata rumah adat. Waw bahkan per-kabupaten dan kota punya style rumah masing-masing, saya tak berhenti kagum melihat deretan rumah tersebut.
Mas Pit, saya, Gita (nah baru mau difoto dia wkwk) dan Mas Jep, di depan rumah adat kabupaten Lampung Timur

                Di taman juga terdapat patung gajah yang sangat besar, gajah merupakan hewan khas Lampung. Banyak spot foto di sepanjang taman kota, namum kami memutuskan tak lama-lama di sana, masih ada beberapa tempat yang akan dikunjungi. Selanjutnya kami ke galeri etnik milik Mas Wilson, kebahagiaan saya itu cukup sederhana, dengan melihat ragam budaya, dan pernak-pernik yang ada di galeri Mas Wilson saja saya sudah sangat bahagia hehe. Terdapat aneka gelang etnik, tas rajut, patung, lukisan dan benda sakral favorit saya, Siger. Baru tahu saat itu kalau Mas Pit ternyata seorang pelukis, ada lukisan Mas Pit di galerinya Mas Wilson. Tidak hanya pernak-pernik Lampung saja, galeri ini terinspirasi dari adat Dayak, Papua dan Baduy kata Mas Pit, istri Mas Wilson pun turut andil membuat karya, luar biasa memang jiwa seni mereka. Karena saya suka gelang, maka saat itu hendak beli gelang yang ada tulisan Lampungnya, eh gak taunya malah dibeliin Mas Pit, hehe makasih, Mas. Dan yang membuat saya terharu saat Mas Wilson memberikan satu-satunya Siger di galerinya tersebut kepada saya.
                “Si Pit kemarin cerita, katanya pas dia bonceng kamu keliling kota, kamu ngitungin Siger ya?” tanya Mas Wilson sambil membuatkan gelang yang nantinya untuk saya.
                Antara malu dan bingung mau jawab gimana, saya hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Mas Wilson.
Mas Wilson, sedang membuat gelang

                “Itu Siger buat kamu, masukin tas! mulai sekarang jangan nyariin Siger lagi, karena Sigernya sudah ada di tas kamu”.
                Kata-kata itu rasanya nancep, sungguh terharu dan hampir nangis, tapi malu diliatin Gita dan Mas Jep. Setelah mengucapkan terima kasih, kami pamit dan geser ke kafe milik Anton, sahabat mereka. Dan di situlah kami kembali ngobrol untuk saling kenal lebih jauh, ditengah-tengah obrolan, Mas Pit mengenalkan Anton. Akhirnya kami ngobrol ber-5, usut punya usut si Anton ini masih satu komunitas dengan saya, komunitas Generasi Pesona Indonesia (Genpi). Haha dunia sempit, ternyata kita semua sodara. Pukul 18.30 adzan maghrib berkumandang, biasanya tiap jam 18.00 saya sudah panik mau ambil air wudlu, eh di Lampung belum adzan jam segitu hehe. Pukul 19.00 WIB kami memutuskan pulang ke rumah Mas Jep dan Gita untuk menunaikan shalat maghrib (boro-boro maghrib, kalau jam segitu di Jawa Timur sudah isya). Dan baru kali itu saya menunaikan maghrib jam 19.00 WIB, rasanya aneh hehe.

ini lukisan karya Mas Pit

                Dijemput Pamuji (sahabat saya saat di kawah Ijen) pukul 20.00 WIB, lantas pamit kepada semuanya, saya titip salam untuk Sela yang saat itu masih bekerja. Sebelum akhirnya kami bergeser ke rumah Salsa (pengunjung gramedia, yang ikut nonton Fiersa), kami menyempatkan ngobrol di kedai susu. Wah setahun tidak bertemu, kami foto bersama untuk dipamerkan ke grup. Yaa setelah pendakian kawah Ijen, kami ber-8 memutuskan membuat grup untuk menjaga tali silaturahim. Sekita satu jam kami ngobrol, bertukar kabar serta koordinasi perjalanan ke Way Kambas lusa. Way Kambas merupakan tempat konservasi gajah, sebelum saya berangkat ke Lampung memang sudah memberi kabar kepada Pamuji dan kami sepakat ke Way Kambas bareng.
Reunian sama Pamuji

         Pamuji terlihat jauh lebih putih dari pada saat di kawah Ijen waktu itu, dia masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Namun sudah sadar arah passionnya kemana, yap traveling. Akhirnya kami berpisah saat saya sudah sampai di rumah Salsa. Si Salsa masih bekerja dan pulang tengah malam, saya memperkenalkan diri kepada ayah dan ibunya Salsa. Kami ngobrol panjang lebar dan ternyata ayahnya Salsa adalah Pembina Genpi, Allohu Akbar hari ini banyak kejutan. Saya ditawari ke pulau Pahawang, salah satu destinasi impian namun tidak masuk bucket list saya karena ehm bisa dibilang cukup mahal. Namun ayah Salsa memberi tawaran mengajak saya ke destinasi mahal tersebut, terpaksa saya tolak karena jadwalnya bentrok dengan jadwal ke Way Kambas bersama Pamuji, yaaah belum rejeki. Saya disilakan istirahat di kamar Salsa, dan akan ketemu Salsa esok harinya.
Bersambung…….

Komentar