Pagi di Lampung rasanya damai,
tersenyum hangat menyambut mentari, sehangat orang-orang yang ada di sni.
Mertua Gita masak tumis pete cumi, ikut menyiapkan bumbu sembari ngobrol. Ngobrol
dengan warga lokal adalah moment berharga bagi saya, sepertinya saya sudah terjebak cinta di Bandar Lampung. Menggali budaya dan
kearifan lokal warga asli Lampung, mengenal daerah yang saya tinggali saat itu.
Semua penghuni rumah mulai beraktifitas di luar, hingga tinggal saya dan Sela
di rumah. Mengingat Gita ngajak jalan masih siang nanti, maka saya agendakan untuk
tidur setelah bersih-bersih diri. Terombang ambing di selat, serta ngebut di
iringan mobil jenazah, rupanya membuat saya cukup teler.
Sela
ini anaknya pendiam, dia setinggi saya (ehm maksudnya tipe wanita dengan tinggi
150-an).Ah sayang saya tidak ada foto bareng Sela. Sela bekerja di salah satu
swalayan yang ada di Bandar Lampung, pagi itu dia sibuk menyetrika baju.
Sembari menunjukkan video yang berisi destinasi mana saja yang saya incar di
Lampung, saya coba membuka obrolan dengan Sela. Museum Lampung, Way Kambas,
industri kain Tapis, Tugu perbatasan adalah lokasi-lokasi yang ingin saya
kunjungi. Kata Sela, tugu Bandar Lampung tak seberapa jauh, pun juga Museum
Lampung. Tiba-tiba di depan rumah ada
Mas Pit yang saat itu ijin tidak masuk kerja, astaga saya belum mandi (dan
tidur juga sih hehe). Ya karena terlanjut dijemput, siap-siaplah saya, tujuan
kami ke tugu Bandar Lampung.
Sekitar
sepuluh menit perjalanan, kami tiba di tugu Bandar Lampung atau biasa disebut
bundaran. Tugu ini sebagai penanda bagi seseorang yang akan memasuki kawasan
Bandar Lampung dari arah Rajabasa. Disebut bundaran karena memang terdapat
jalan yang melingkar, pusat kendaraan yang akan masuk kawasan Bandar Lampung
serta yang akan meninggalkan kota tersebut. Lokasi tugu tak jauh dari terminal
Rajabasa dan museum Lampung. Saya langsung bergegas menyiapkan tripod, kamera, cari
sudut yang pas untuk ambil gambar. Kurang lebih satu jam berada di tugu (haha
lama banget). Nampak lafadz Tahlil "Laa ilaha Illallah", Siger, serta aksara asing (semacam aksara kuno
Lampung). Di depan tugu juga terdapat patung Radin Inten, salah satu pahlawan
yang ikut membela tanah Lampung. Niat mampir museum kami urungkan, nanti saja
menunggu Gita dan Mas Jep pulang, pikir kami. Saya lantas istirahat, Mas Pit juga
kembali pulang ke rumahnya.
Siang
itu Sela pamit berangkat kerja, waah saya benar-benar sendiri saat itu. Untunglah
tak lama Gita pulang, disusul Mas Jep, Gita yang tengah hamil muda ingin
istirahat dulu, kami memutuskan kencan sore harinya (ciyeeh kencan). Baik Gita, Mas Jep, Mas Pit ini tergabung
dalam sebuah komunitas, RCB (Ragam Cerita Bersama) namanya. Mereka akan saling
posting tulisan di website RCB, isinya ya macam-macam, ada puisi, catatan
perjalanan, atau apapun yang ingin mereka tulis, hah seru punya komunitas yang
orang-orangnya kompak gini. Sore itu saya diajak ke taman kota, dan dikenalkan
macam-macam rumah adat tiap kota dan kabupaten. Lampung memiliki 2 kota, yakni Bandar Lampung dan Metro, dan 13 Kabupaten, Bandar Lampung merupakan ibukota Provinsi
Lampung. Awalnya saya pikir itu gedung pemerintahan, ternyata rumah adat. Waw bahkan
per-kabupaten dan kota punya style rumah masing-masing, saya tak berhenti kagum
melihat deretan rumah tersebut.
![]() |
| Mas Pit, saya, Gita (nah baru mau difoto dia wkwk) dan Mas Jep, di depan rumah adat kabupaten Lampung Timur |
Di taman
juga terdapat patung gajah yang sangat besar, gajah merupakan hewan khas
Lampung. Banyak spot foto di sepanjang taman kota, namum kami memutuskan tak
lama-lama di sana, masih ada beberapa tempat yang akan dikunjungi. Selanjutnya kami ke galeri etnik milik Mas Wilson, kebahagiaan saya itu cukup sederhana, dengan
melihat ragam budaya, dan pernak-pernik yang ada di galeri Mas Wilson saja saya
sudah sangat bahagia hehe. Terdapat aneka gelang etnik, tas rajut, patung, lukisan
dan benda sakral favorit saya, Siger. Baru tahu saat itu kalau Mas Pit ternyata seorang pelukis, ada lukisan Mas Pit di galerinya Mas Wilson. Tidak hanya pernak-pernik Lampung saja,
galeri ini terinspirasi dari adat Dayak, Papua dan Baduy kata Mas Pit, istri
Mas Wilson pun turut andil membuat karya, luar biasa memang jiwa seni mereka. Karena
saya suka gelang, maka saat itu hendak beli gelang yang ada tulisan Lampungnya,
eh gak taunya malah dibeliin Mas Pit, hehe makasih, Mas. Dan yang membuat saya
terharu saat Mas Wilson memberikan satu-satunya Siger di galerinya tersebut
kepada saya.
“Si Pit
kemarin cerita, katanya pas dia bonceng kamu keliling kota, kamu
ngitungin Siger ya?” tanya Mas Wilson sambil membuatkan gelang yang nantinya
untuk saya.
Antara malu
dan bingung mau jawab gimana, saya hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Mas
Wilson.
![]() |
| Mas Wilson, sedang membuat gelang |
“Itu
Siger buat kamu, masukin tas! mulai sekarang jangan nyariin Siger lagi, karena
Sigernya sudah ada di tas kamu”.
Kata-kata
itu rasanya nancep, sungguh terharu dan hampir nangis, tapi malu diliatin Gita dan
Mas Jep. Setelah mengucapkan terima kasih, kami pamit dan geser ke kafe milik
Anton, sahabat mereka. Dan di situlah kami kembali ngobrol untuk saling kenal
lebih jauh, ditengah-tengah obrolan, Mas Pit mengenalkan Anton. Akhirnya kami ngobrol
ber-5, usut punya usut si Anton ini masih satu komunitas dengan saya, komunitas
Generasi Pesona Indonesia (Genpi). Haha dunia sempit, ternyata kita semua sodara.
Pukul 18.30 adzan maghrib berkumandang, biasanya tiap jam 18.00 saya sudah panik
mau ambil air wudlu, eh di Lampung belum adzan jam segitu hehe. Pukul 19.00 WIB
kami memutuskan pulang ke rumah Mas Jep dan Gita untuk menunaikan shalat
maghrib (boro-boro maghrib, kalau jam segitu di Jawa Timur sudah isya). Dan baru
kali itu saya menunaikan maghrib jam 19.00 WIB, rasanya aneh hehe.
![]() |
| ini lukisan karya Mas Pit |
Dijemput
Pamuji (sahabat saya saat di kawah Ijen) pukul 20.00 WIB, lantas pamit kepada
semuanya, saya titip salam untuk Sela yang saat itu masih bekerja. Sebelum akhirnya
kami bergeser ke rumah Salsa (pengunjung gramedia, yang ikut nonton Fiersa),
kami menyempatkan ngobrol di kedai susu. Wah setahun tidak bertemu, kami foto
bersama untuk dipamerkan ke grup. Yaa setelah pendakian kawah Ijen, kami ber-8
memutuskan membuat grup untuk menjaga tali silaturahim. Sekita satu jam kami
ngobrol, bertukar kabar serta koordinasi perjalanan ke Way Kambas lusa. Way Kambas
merupakan tempat konservasi gajah, sebelum saya berangkat ke Lampung memang
sudah memberi kabar kepada Pamuji dan kami sepakat ke Way Kambas bareng.
![]() |
| Reunian sama Pamuji |
Pamuji terlihat
jauh lebih putih dari pada saat di kawah Ijen waktu itu, dia masih duduk di
bangku kelas 3 SMA. Namun sudah sadar arah passionnya kemana, yap traveling.
Akhirnya kami berpisah saat saya sudah sampai di rumah Salsa. Si Salsa masih
bekerja dan pulang tengah malam, saya memperkenalkan diri kepada ayah dan
ibunya Salsa. Kami ngobrol panjang lebar dan ternyata ayahnya Salsa adalah Pembina
Genpi, Allohu Akbar hari ini banyak kejutan. Saya ditawari ke pulau Pahawang,
salah satu destinasi impian namun tidak masuk bucket list saya karena ehm bisa
dibilang cukup mahal. Namun ayah Salsa memberi tawaran mengajak saya ke
destinasi mahal tersebut, terpaksa saya tolak karena jadwalnya bentrok dengan
jadwal ke Way Kambas bersama Pamuji, yaaah belum rejeki. Saya disilakan
istirahat di kamar Salsa, dan akan ketemu Salsa esok harinya.
Bersambung…….





Komentar
Posting Komentar