#2 SERANG SEBELUM LAMPUNG (HARI KE-1)


penampakan dari kaca bus Arimbi menuju Serang
Sampai di Tegal, pemilik kursi yang awalnya saya duduki datang. Terpaksa kembali ke kursi yang terdaftar di tiket saya, apesnya, jatah kursi saya diduduki orang lain, harusnya saya duduk di kursi 2A, dekat kaca. Penumpang itu tidak mau pindah, saya menduduki kursinya, dia sepertinya nyaman menempati kursi yang seharusnya jadi hak saya. Jarang ya, menemukan orang-orang yang pengertian gitu, lumayan BT pas di kereta. Sepanjang malam saya coba tidur, penumpang lain mengeluh kedinginan, sebenarnya saya gak terlalu kedinginan tapi gak tahu kenapa, sepanjang malam bersin-bersin. Penumpang yang tadi menempati kursi saya jadi terganggu, ya maap gak sengaja Mas, pengennya sih sengaja biar Masnya makin terganggu, ngambil hak orang sih wkwkwk gak lah ya, traveler itu harus berperilaku baik biar ditolongin Tuhan selama perjalanan.
                Dan benar saja, sepanjang malam saya tidak bisa tidur. Sampai stasiun Pasar Senen harus tidur dulu sebelum lanjut perjalanan. Jam menunjukkan pukul 04.00 WIB, saya tiba di stasiun Pasar Senen, Jakarta. Sepertinya memang tidak ada tempat tidur nyaman di sini. Badan rasanya lengket, kepala gatel, ingin cepat-cepat sampai Serang dan istirahat. Usai menunaikan shalat subuh berjama’ah di masjid stasiun, saya cuci muka dan sarapan. Pengennya mandi dan keramas tapi waktunya belum pas, jadi cuci muka dulu aja lah. Oke, perut udah nyaman dan penampilan (cukup) kece, lanjut ke terminal Senen. Terminal Senen ini tak jauh dari stasiun Pasar Senen, jadi bisa dijangkau dengan jalan kaki. Kemudian saya naik Metro Mini arah Kalideres. Siapkan uang pas Rp. 4.000,- untuk ongkos naik Metro mini arah Kalideres. Sepanjang saya naik Metro mini, mata sudah sepet, pengen tidur tapi Pak Supirnya hobby banget rem mendadak. Lampu merah diterjang, bus ugal-ugalan haish otomatis melek deh.
                Sampai di terminal Kalideres, saya langsung jalan cepat tanpa gubris pertanyaan dari para calo. Saya tahu harus naik bus apa dan dengan tarif berapa, jadi sepertinya tidak perlu dibantu calo.


 Catatan, bagi teman-teman yang melakukan perjalanan, terlebih sendirian, misal bingung cari kendaraan atau tanya jalur, tanyalah ke petugas yang berseragam, itu jauh lebih aman dari pada tanya orang asing. 


            Dari terminal Kalideres naik bus "Arimbi" arah Merak, dengan tarif Rp. 25.000,- . Kalau mau hemat bisa naik KRL dari stasiun Pasar Senen, dengan tarif Rp. 10.000,- turun Rangkasbitung lalu naik kereta lokal dengan tarif Rp. 3.000,-. Tapi saat itu saya ingin cepat sampai Serang, kalau naik kereta dari Rangkas ke Serang bisa nyampe sore. Nah ini jadwal kereta lokal dari Rangkasbitung ke Merak.

                Di bus menuju Serang, saya mencoba menahan kantuk, pemandangan yang dilewati bus tidak setiap hari bisa saya temui, yaah meski sudah sering ke Serang sih. Menikmati perjalanan sambil memberi kabar yang di rumah, untung bus agak sepi jadi saya bisa duduk dengan nyaman. Turun di Patung (gerbang tol Serang) masih harus oper angkot sampai alun-alun Serang. Selanjutnya saya dijemput Mbak Yehan, seorang yang saya kenal 2017 lalu di Rumah Dunia Serang. Wanita kelahiran Lampung, namun keluarganya banyak tersebar di Jawa Timur, jadi dia bisa bahasa Jawa. Dan ramadhan 2017 kemarin, dia sempat main ke tempat saya di Ngawi, Jawa Timur untuk mengajak keliling Indonesia timur. Awalnya saya tertarik dengan ajakannya, tapi sepertinya belum cukup nyali untuk ikut dengannya. Akhirnya dia memutuskan jalan sendiri keliling Indonesia timur selama satu tahun lebih sebulan kurang lebihnya. Perjalanannya bisa dibilang berhasil sampai Papua Nugini, namun banyak behind the scene yang membuatnya tak ingin kembali menjajaki Indonesa timur. Yak itulah tadi Mbak Yehan, lanjut lagi ke perjalanan saya ya hehe
ini Mbak Yehan bersama anak-anak lokal, waktu mengembara di Papua

               
Selama menunggu Mbak Yehan, saya sempat disamperin ibu yang membawa 2 anaknya, masih kecil-kecil. Anak terkecil, lelap di gendongan si ibu, dan satunya digandeng. Saat dihadapan saya, si anak yang digandengn menangis, dia tak bilang apa-apa, hanya menangis. Kata si ibu, anaknya lapar, belum makan dari jam 07.00 WIB, saat itu sektar pukul 10.00 WIB. Si ibu menunggu suaminya yang tak kunjung menjemput. Lalu meminjam handphone saya untuk menelpon suaminya, tapi tak ada jawaban dari yang di sana. Dan endingnya si ibu meminta uang Rp. 10.0000,- kepada saya, alasannya untuk naik angkot. Pasal yang menyebutkan “Traveler harus berperilaku baik” sepertinya kurang pas di kasus ini lebih pas kalau kalimatnya begini "Traveler harus waspada". Si ibu itu ternyata penipu yang sudah sering beroperasi di sekitar alun-alun Serang, kata Mbak Yehan.


Boleh membantu, tapi kita gali dulu kebutuhannya, anaknya lapar pengen makan, silakan kita belikan makan. Kebutuhan si ibu tadi ingin pulang, naik angkot, maka harusnya saya bantu nyari angkot dan langsung ngasih ongkos ke Mamang angkotnya agar nganterin ibu tadi pulang.


              Bodohnya saya langsung ngasih uang ke ibu tadi, makin kesel saat saya mendaapati si ibu tadi cari target baru (Mentolo tak sawat sandal *Jawa). Biasanya pertemuan saya dengan Mbak Yehan berlangsung haru, entah kenapa Mbak Yehan selalu menangis kala ketemu saya. Tapi gara-gara ibu tadi, pertemuan saya dan Mbak Yehan jadi kurang syahdu, hah sudahlah. Kami (saya dan Mbak Yehan) jalan kaki menuju tempat kerja Mbak Yehan, namun sebelumnya mampir beli lontong sayur untuk sarapan (kedua). Mbak Yehan bekerja di kantor travel Korea, dia yang ngurusin keberangkatan piknik para kliennya. Kabarnya sih akan dikembangkan, jadi bukan hanya ke Korea saja tapi juga Eropa. Hah gak jauh-jauh dari dunia perpiknikan ya. Kantornya tak jauh dari alun-alun Serang, kami cukup berjalan kaki menuju kantor. Ada ruang istirahat di kantor Mbak Yehan, saya disilakan bersih-bersih dan istirahat, haah lega rasanya. Setelah makan, bersih diri, langsung tidur.
                Selain Mbak Yehan, ada juga sahabat FLP namanya Mbak Yuni, beliau sekarang mengelola pondok pesantren tahfidz qur’an, sayapun diundang ke sana. Sore harinya setelah ashar, saya pamit hendak ke tempat Mbak Yuni. Hanya membawa barang seperlunya, ransel besar saya titipkan Mbak Yehan. Mertua Mbak Yuni tinggal di Karanganyar, Jawa Tengah. Bila Mbak Yuni pulang ke Karanganyar biasanya saya samperin. Lumayan sering sih ketemu beliau, tapi saya belum pernah mampir ke kediaman beliau  yang di Serang.
Mbak Yuni, Khalid dan saya di Ponpes Salsabila

             Naik ojek online dengan tarif Rp. 15.000,- saya tiba di kediaman Mbak Yuni. Pondok pesantren yang ditempati Mbak Yuni sangat rindang, dipenuhi pohon rambutan berbuah lebat. Saya disuguhi gorengan ubi warna ungu dan rambutan tentunya, jadi Mbak Yuni ini saya juluki ratu ungu. Karena yah bisa ketebak lah ya, kalau beliau sangat suka warna ungu (ehm saya juga sih hehe). Anak terkecil Mbak Yuni namanya Khalid, usianya sekitar 2 tahun entah kenapa dia suka manggil saya “Tante Peri” huft baiklah, Nak, asalkan kau bahagia tante rela. Menghabiskan sore di Ponpes Salsabila yang dikelola Mbak Yuni beserta suaminya ini terasa tentram sekali. Santrinya bak bidadari, memakai gamis dan sebagian besar memakai niqab, hah adem hati tante liat kalian, Dek (maaf, foto para bidadari alias santrinya Mbak Yuni tidak saya share di sini hehe).


Ponpes Salsabila, Serang


                Niatnya cabut dari tempat Mbak Yuni setelah maghrib, ternyata molor hingga setelah isya. Saya geser ke Rumah Dunia (RD) setelah isya', bagi yang belum tahu “Rumah Dunia” silakan cari di Google, banyak informasi terkait tempat pegiat literasi ter-hits ini. Diantar  Aeny (yang juga relawan RD) saya menemui bu Tias Tatanka. Sekedar berbagi kabar dan silaturrahim ke beliau, tak lama kami ngobrol karena bu Tias hendak istirahat. Aeny juga meninggalkan saya di RD karena calon suaminya sedang bertamu. Saya bergeser ke kafe RD, kebetulan sedang ada pembekalan kelas menulis untuk 3 peserta yang akan ke Singapura bareng Pak Gol A Gong (traveler, suami Bu Tias).
Pak Gong (koko putih) tengah memberikan kelas menulis di kafe RD
Desember lalu Pak Gong saya undang ke Ngawi untuk mengisi seminar Literasi. Alhamdulillah masih diberi kesempatan bertemu dan mengikuti kelas menulis beliau di Serang. Ada Bella, Odi, dan Azka juga (anak-anak Pak Gong dan Bu Tias) sebenarnya ada satu lagi, namanya Gabriel, masih di Abu Dabi menyelesaikan sekolahnya. Dulu waktu 2 minggu saya tinggal di Serang, hampir setiap hari bertemu Odi dan Azka, namun tidak bertemu dengan Bella, karena dia tengah melanjutkan kuliah di China, beruntung malam itu bisa bertemu dan ngobrol dengan Bella. Jam menunjukkan pukul 22.00 WIB, saya pamit pulang ke kontrakan Mbak Yehan. Banyak yang belum saya temui di RD seperti Kang Jack, Zaenal, Opik, Kang Salam, Kang Hilman dan Arip, mereka semua relawan RD sekaligus sahabat saya.
Ojek online datang, bersamaan dengan Arip yang baru pulang ke RD, yah sayang sekali belum bisa ngobrol dengan Arip, lain waktu mungkin. Kontrakan Mbak Yehan tak jauh dari Brimob Serang. Sampai di kontrakan, saya langsung istirahat, rencana esok paginya langsung ke Lampung tapi Mbak Yuni menahan saya, beliau pengen saya menginap barang semalam di Ponpes. Saya memutuskan untuk sehari lagi tinggal di Serang.
Bersambung…..




Komentar

  1. wkwkwk apes dikit di hari pertama, Mi

    BalasHapus
  2. Bagus mbak frill tulisannya.. Lanjutkan!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hiks makasih sudah mampir, Insyallah besok rilis lagi 🤗

      Hapus
  3. Moga dapat ganti berlimpah, ya. Moga ibu itu juga dapat hidayah sebelum dia beneran kena sawat sandal xD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amiin, makasih

      Haha udah hampir kena sawat tu ibu ibu, untung ditahan sama Mbak Yehan, emosi saya 🤣

      Hapus
  4. Wow... Jadi panjang banget nih tulisan

    BalasHapus
  5. Iya Mbak, dari kemarin galau nyingkatnya, masa nanti ada 7 bab, per bab = sehari, huaaaah otoke?

    BalasHapus

Posting Komentar