#1 LAMPUNG, PERJALANAN YANG TAK DISANGKA-SANGKA


Lampung adalah salah satu provinsi yang saya incar sejak lama. Almarhum Mbah Buyut disemayamkan di sana, entah di Lampung sebelah mana. Tak banyak informasi yang bisa digali. Pihak keluarga besar seakan menutup informasi terkait fakta Mbah Buyut. Misalnya tentang di mana Mbah tinggal, bersama siapa beliau dulu tinggal dan tentang fakta kematian beliau. Menurut keterangan Bapak, Mbah Buyut meninggal karena kecelakaan motor, saat dibonceng, rok yang beliau kenakan masuk ke dalam roda motor yang tengah melaju. Mbah jatuh dari motor, dan kepala beliau terbentur batu di jalan yang tak mulus.
Atau ada kabar burung yang mengatakan bahwa beliau bisa saja dibunuh, dengan alasan bisnis. Mbah, dulu punya lahan kopi serta lada yang katanya cukup luas. Semenjak Mbah meninggal pada 2004, semua seakan dianggap tak pernah ada, keluarga meminta saya untuk melupakan begitu saja.
“Mbah kan pernah punya rumah, lahan kopi dan lada, sekarang gimana Pah?” tanyaku kepada Bapak yang biasanya saya panggil Apah.
“Sudah, lupakan, gak usah diungkit lagi” Bapak selalu tidak pernah mau bercerita.
Hati seakan memberontak, tidak bisa menerima semua keterangan yang belum jelas faktanya. Mungkin hal ini yang akhirnya mendorong saya ke Lampung. Bila tak bisa menggali keterangan terkait Mbah Buyut, minimal saya pernah merasakan tinggal di tanah yang Mbah Buyut pernah tinggali. Lalu bagaimana saya mencari ongkos untuk berangkat ke Lampung?. Pertanyaan lazim yang sering dilemparkan, oleh siapa saja yang tahu niat saya pergi ke Lampung. Antara cuek dan bodoh, ditiap perjalanan, entah kenapa saya jarang khawatir dengan yang namanya uang. Seakan telah tertancap keyakinan bahwa Tuhan akan mencukupi kebutuhan musafir. Yaa mempertimbangkan sih, tapi gak terlalu lama untuk mempertimbangkan hal yang satu ini.
Berkali-kali coba merealisasikan perjalanan ke Lampung, tapi gagal. Pada nabung sudah terkumpul 2 jutaan, namun masih gagal berangkat juga. Giliran H-1 masih pegang uang Rp. 50.000,- malah bisa berangkat, alhamdulillah yang awalnya pinjam uang ke saya, jadi mendapatkan rejeki dan bisa mengembalikan. Ada sekitar 5 orang, yah mungkin itu ladang tabungan saya hehe. Perjalanan Yang Tak Disangka-sangka memang. Sebelumnya sama sekali tidak diijinkan orang tua untuk pergi ke Lampung, alasannya begal dan Bapak tidak ingin saya ke Lampung untuk menggali informasi tentang Mbah Buyut. Bapak akan mengijinkan saya ke Lampung bila ada keperluan kantor. Akhirnya saya mengajukan ijin kepada manager untuk membuat program Experiential Learning (EL) di sana. Berbekal kenalan dari FLP (Forum Lingkar Pena) yang bekerja di salah satu Yayasan pondok pesantren di Lampung, akhirnya saya mengajukan program EL dan diACC. Pelaksanaan EL pada hari Minggu, 24 Februari 2019 di yayasan Baitul Qur'an, Metro, Lampung.
***
Sabtu (16/02/19), pagi itu saya masih diminta memandu outbound siswa TK. Di sebuah taman wisata outbound yang ada di Ngawi. Namun hingga sabtu itu belum pesan tiket kereta, lebih tepatnya kehabisan tiket kereta termurah (Brantas) dengan tujuan akhir Pasar Senen, Jakarta.
“Program EL di Lampung tanggal berapa Mbak?” tanya Pak Amel, owner taman wisata yang menyewa jasa saya untuk memandu outbound.
“Tanggal 24 Pak, rencana saya mau berangkat selasa, tapi adanya kereta Brantas hari jum’at” jawab saya sedikit lesu, sambil ngecek jadwal kereta di HP.
“Boleh saya bantu carikan tiket, Mbak? Kebetulan saya kenal kepala PT. KAI, berangkat selasa ya?”
foto bersama adek-adek TK Madiun, seusai memandu outbound

Selanjutnya saya memberikan identitas saya pada Pak Amel, tak lama setelah saya meninggalkan taman wisata, ada pesan masuk dari Pak Amel. Ternyata tiket terlanjur dicetak, dan berangkat besoknya alias hari minggu. Alamak….. belum siap-siap, belum nitip amplop buat kondangan temen yang pastinya saya gak bisa datang karena masih berada di Lampung, belum ini, belum itu. Saya berusaha menjawab pesan Pak Amel dengan santai, yaah udah syukur kan dibantuin nyari tiket kereta murah. Harus siap dalam keadaan seribet apapun. Kereta Brantas jurusan Blitar-Pasar Senen ini melewati stasiun Paron, Ngawi dan harganya sangat murah, yakni Rp. 84.000,-. Namun bila kalian ingin tidur dengan nyaman, saya tidak merekomendasikan kereta Brantas, biasanya penuh banget.
Berbekal sedikit logistik (karena saya tipe orang yang susah menerima makanan saat traveling) dan 3 setel baju, tiba saatnya saya pamit dengan orang tua. Meski sering traveling sendirian, namun Lampung bukan destinasi yang sepenuhnya direstui Bapak,harus lebih sering kasih kabar saat sudah di perjalanan. Minggu (17/02/19) sebelum berangkat ke stasiun Paron, saya sempatkan ke kantor tempat saya bekerja. Ada beberapa urusan yang harus diselesaikan.  Usai bersih-bersih kantor dan membereskan beberapa berkas, saya harus berangkat ke stasiun. Untuk tugas selama seminggu kedepan, sudah saya pasrahkan kepada teman-teman lain, termasuk hari senin besok saat kantor menerima penghargaan dari Diskominfo.
Setelah bertahun tahun merintis media online, Alhamdulillah mendapat penghargaan dari Diskominfo sebagai media online ter-update  se-Kabupaten Ngawi. Meski akhirnya bukan saya yang menerima penghargaan tersebut, namun saya ikut senang sebagai salah satu author-nya. Hah moment yang sayang untuk dilewatkan, tapi bagaimana lagi? tiket sudah di tangan. Ke stasiun diantar  Gigih salah satu teman kantor, ya lumayan lah, jadi gak naik kendaraan umum kan? hehe.
Sampai di stasiun 2 jam sebelum keberangkatan, saya masih leyeh-leyeh di masjid kayu yang tak jauh dari stasiun. Kereta Brantas berangkat dari stasiun Paron, Ngawi pukul 16.30 WIB, masih longgar lah ya untuk sholat ashar. Seusai sholat ashar saya jalan kaki ke stasiun dan cek-in, satu jam kemudian kereta datang dan perjalanan menuju Lampung baru dimulai. Rencananya saya mau mampir Serang untuk mengunjungi beberapa teman. Dan untuk hemat tenaga juga, misal tanpa mampir Serang, saya akan menempuh perjalanan malam ke Lampung-nya.
Seperti yang saya duga, kereta Brantas sangat penuh, sementara saya duduk di kursi yang bukan milik saya. Kursi saya kurang nyaman karena tidak disamping kaca. Kalau penumpang aslinya datang, saya akan pindah. Hanya untuk sementara saja, ingin mendapatkan tempat nyaman di samping kaca. Perjalanan dengan kereta api selalu menyenangkan dan membuat candu, hamparan sawah yang dilewati dan naik kereta tidak membuat saya mual. Berada di kereta semalaman, sebelum akhirnya tiba di Stasiun Pasar Senen, Jakarta. Saya menghabiskan waktu untuk nulis dan nonton video traveling.
Bersambung.....

Komentar