| salah satu warga suku Osing yang mengenakan pakaian adat |
Sekadar
informasi, nutrisi satu buah pisang sudah lumayan memenuhi kebutuhan gizi
makan. Bus arah terminal Kapuran akhirnya tiba sekitar pukul 19.20 WIB, saya
mengucapkan banyak terima kasih kepada petugas dinas perhubungan yang sudah
sangat baik. Seusai pamitan, segera naik bus yang melaju ke arah
terminal Kapuran. Perjalanan kurang lebih tiga jam, beruntung saya duduk
berdampingan dengan anak muda yang lumayan asik diajak ngobrol. Dia bersama ibu
dan adiknya, masih kelas 2 SMA. Kita sempat
sempat kenalan, haha mungkin faktor U kali ya, saya lupa namanya siapa. Perjalanan
tiga jam tak begitu terasa, dia asli Banyuwangi dan menceritakan tempat kelahirnya.
Salah satu
keuntungan seorang pejalan adalah kenal warga lokal, dan warga lokal tersebut
bercerita tentang daerahnya. kearifan lokal, salah satu yang membuat saya makin cinta tanah air,
Indonesia. Sampai di terminal Kapuran, saya lantas naik ojek menuju pelabuhan
Ketapang. Pelabuhan penyebrangan menuju Bali, petugas di terinal Kapuran menyarankan
saya demikian. Menunggu bus di depan salah satu toko sekitar pelabuhan, sambil
terus memberi kabar kepada Annisa. Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB,
beruntung masih ada Mas penjual roti bakar yang menemani saya ngobrol.
Perhatian
saya beralih ke televisi yang ada di dalam toko, karena mendengar suara yang tak
asing. Ternyata sahabat saya Nopek sedang unjuk kebolehan Stand Up Comedy di
salah satu TV nasional. Rasanya ikut terharu melihat sahabat satu komunitas yang
sukses di kancah nasional. Saya, Mas penjual roti bakar serta bapak penjaga
toko larut dalam tawa saat menyaksikan Nopek. Sejenak kebosanan menunggu bus
saya hilang. Namun saya tak boleh leyeh-leyeh di pelabuhan, sudah
dua jam nunggu bus namun tak kunjung ada. Annisa pun mulai cemas, Mas penjual
roti menyarankan saya naik ojek pangkalan. Tentu saja ada rasa takut menerima tawaran
tersebut, coba order ojek online namun ditolak. Akhirnya dengan mengucap
Basmallah, saya menerima tawaran tersebut. Ada orang yang berbaik hati membelikan saya roti bakar dari Mas penjual roti tersebut.
Tak banyak
ngobrol saat dibonceng, saya lebih tertarik memperhatikan sekitar dan berusaha
menghubungi Annisa. Sekitar satu jam kami menempuh perjalanan, belum
terlihat ada Annisa menjemput saya. Mulai khawatir, namun bapak ojek mau menemani dan memastikan saya selamat hingga dijemput Annisa. Sungguh beruntung, bertemu orang-orang baik seperti mereka. Dan beberapa menit kemudian
Annisa terlihat, bersalaman dan memeluk saya. Kami langsung
menuju kediaman Annisa. Langsung tidur dan saya berpesan agar tidak dibangunkan
saat sahur, karena sedang tidak puasa.
Benar-benar
kelelahan, seharian ijin tidur pada Annisa sambil sesekali ngobrol saat mata bisa
sedikit melek. Merencanakan perjalanan ke Desa Kemiren dan kawah Ijen, Desa
Kemiren merupakan tempat tinggal suku Osing, suku asli di Banyuwangi. Badan saya
kembali segar setelah mandi dan makan siang, selanjutnya prepare lalu berangkat ke Kemiren . Sebelum berangkat kami minta restu dan pamit kepada
Ibu Annisa. Kami sangat semangat mengenal budaya suku Oesing, meski asli
Banyuwangi ternyata Annisa belum pernah ke Kemiren. Berulang kali kami nyasar,
meski sudah memakai aplikasi. Ternyata aplikasi maps mengarahkan kami ke salah
satu kolam renang yang ada di desa Kemiren. Alamak…rasanya kecewa karena kami
terlanjur membayar karcis masuk kolam renang. Tak ingin larut dalam penyesalan,
kami akhirnya menggali informasi kepada petugas kolam.
| Annisa dan rumah adat suku Osing, di area wisata kolam renang Desa Kemiren |
Dan kabar
baiknya di salah satu gang tak jauh dari kolam renang, sedang ada bazar kuliner, lumayan untuk persiapan buka puasa. Seluruh
makanan yang dijual merupakan makanan tradisional khas suku Osing, kami ijin
menitipkan motor serta ransel kepada petugas kolam. Dengan membawa barang dan
uang secukupnya, kami berjalanan menuju gang tersebut. Dan benar saja, kami
mendapati warga suku Osing yang berjajar menjual aneka kuliner tradisional. Bu
Sut, mengenalkan saya pada beberapa makanan yang
beliau jajakan. Salah satunya Apem Contong, berbahan terigu yang dicampuri gula
merah, mengingatkan saya pada “Clorot” makanan tradisional asal Rembang, Jawa
Tengah, Apem contong ini sangat mirip dengan Clorot.
| penjual makanan tradisional mengenakan pakaian adat suku Osing |
“Ini Tape
Buntut, karena bentuknya seperti buntut (ekor) dibungkus dengan daun kemiri”
terang Bu Sut.
Pengetahuan saya tentang aneka kuliner
nusantara jadi makin bertambah, tape berbahan dasar ketan yang telah
difermentasi. Beruntung kami bertemu pula dengan Pak Andi Supandi, budayawan
suku Osing. Beliau menuturkan tentang suku Osing serta makanan tradisional
yang cukup terkenal, “Pecel Pitik”, sayang sekali kami tak menemukan makanan
itu di bazar, namun kami sempat beli Nasi Tempong. Pak Andi menyilakan kami mampir
ke rumahnya bila suatu saat berkesempatan ke Kemiren lagi. Jelang maghrib, kami
meninggalkan bazar kuliner dan mencari mushola terdekat. Tak berapa lama, adzan
maghrib berkumandang, Annisa membatalkan puasanya, kami menikmati nasi tempong
dan beberapa jajanan tradisional yang sempat kami beli
Setelah cukup tenaga, kami
melanjutkan perjalanan ke kawah Ijen, berpamitan dan mengucapkan terima kasih
pada petugas kolam. Sebelum menuju kawah Ijen, kami harus berhenti di terminal
Licin untuk laporan kepada petugas setempat. Tak banyak bicara saat di
kendaraan, antara takut dan ingin cepat sampai Licin. Melewati hutan cukup
panjang, tak ada pemukiman, mulai ada sedikit kekhawatiran di raut wajah kami. Bersambung……….
| bersama bapak-bapak di terminal Licin |
Komentar
Posting Komentar