Bus
perlahan melaju, kembali melanjutkan perjalanan menuju Bondowoso menemui salah
satu sahabat baik saya. Dwi Retno namanya tapi saya lebih suka memanggilnya No
saja, haha biar anti mainstream. Sebelumnya saya memang mengabarkan perjalanan
ini padanya, No menyilakan saya mampir dan menginap di rumahnya. Kalau toh dia
nggak jawab pesan saya waktu itu, sayapun tak masalah, dari Jember akan
langsung ke Situbondo. Namun karena (katanya) No ini kangen, saya pun
memutuskan mampir sebentar. Sebenarnya jarak antara Jember-Bondowoso ini tidak
terlalu jauh, namun memang bus yang saya naiki ini cukup
selow. Saya pun
sampai di terminal Bondowoso pukul 20.30 WIB, No sudah berada di dalam
terminal, mendapati saya turun dari bus dia langsung lari dan memeluk saya.
Sedikit
cerita tentang sahabat saya yang satu ini, dia termasuk mahasiswa yang dibully.
Dikucilkan karena dianggap aneh, gak nyambung, dan kurang pintar. Setiap orang
memiliki sisi unik masing-masing, namun tak setiap orang punya sisi baik
seperti si No. Bagaimanapun keadaannya
di mata saya No ini adalah orang baik. Tak banyak yang mau berkawan dengannya,
dan saya termasuk golongan minoritas itu. Makanya No sangat senang ketika saya
mau mengunjunginya di Bondowoso. Kamipun langsung menuju kediaman No di gang
Pelita. Sekitar bulan Mei 2015 saya pernah ke rumah No, untuk menghadiri
pernikahannya. Waktu itu, gang rumah No masih sepi-sepi aja. Kali ini saya
sangat tercengang dengan keadaan gang rumahnya yang dipenuhi kedai kopi. Waw
kopi, satu benda, minuman, oleh-oleh atau apalah yang bagi saya sangat
istimewa.
 |
| Kopi Arabica level 1 di kedai kopi samping rumah No |
Kopi
bisa berarti identitas, bisa menjelaskan kondisi tanah, bisa menjadi cirri
khas, karena tiap daerah pastilah memiliki cita rasa kopi yang beda pula. Saya
diantar No menuju kamar istirahat, ternyata suaminya sedang dinas luar kota,
kamipun tidur sekamar. Hanya meletakkan tas dan saya langsung menuju kedai kopi
di samping rumah No. Saya pesan kopi Arabika Ijen level 1, menu kopi dengan
level sengaja untuk menentukan tingkat kekentalan. Ngobrol kami jadi lebih asik
ditemani aroma kopi, syukurlah gang rumah No sudah menjadi gang kopi yang
diresmikan menteri pariwisata Arief Yahya sejak Maret 2017. Lepas diteraktir
kopi oleh No, kamipun istirahat, menyiapkan stamina untuk jalan-jalan besoknya.
 |
| Ini rumah No di gang Pelita Bondowoso |
Rencana
udah oke, mau ke sini, mau ke situ dan ujung-ujungnya mager wkwkwk. Yaaah ada
kalanya capek di perjalanan, emang sayang sih, tapi misal dipaksain lebih
sayang lagi kalau jatuh sakit. Jelang siang kita baru keluar rumah. Baru
teringat ada museum kereta api di Bondowoso, saya tahunya malah dari Lawang
Sewu di Semarang. Jadi waktu saya solo trip ke Lawang Sewu, saya menemukan
banyak foto di salah satu sudut bangunan itu, liat-liat foto sembari membaca
informasi terkait foto dan taraaa ketemulah informasi bahwa di Bondowoso
terdapat museum kereta api. Benda-benda yang ada di dalam museum meliputi
perlengkapan perkereta apian dari masa lampau hingga kini. Begini seharusnya
piknik, tak melulu di tempat hits, sesekali perlulah kita mengenal sejarah di
sekitar kita. selepas itu saya minta diantar ke alun-alun, kami ingin nostalgia
dan foto-foto di sana.
 |
| Gerbong maut di alun-alun Bondowoso |
Sedikit
kecewa karena saya tidak menemukan tulisan “Alun-alun Bondowoso” kemudian No
mengantarkan saya ke perbatasan. Dan benar, kami menemukan gapura bertuliskan
Bondowoso. Saya menjadwalkan jam 13.30 WIB sudah geser ke kota selanjutnya,
Situbondo dan Panarukan. Namun sebelum itu saya diajak mampir ke kediaman Mbak
Retno (kakak kandung No) perasaan ini keluarga namanya sama semua ya haha.
Alhamdulilah Mbak Retno sekarang punya rumah sendiri, luas, adem dan nyaman,
sayapun turut berbahagia. Kami pulang ke rumah No di gang Pelita, Bu Tut, ibu No menahan saya untuk melanjutkan
perjalanan, saya diminta makan terlebih dulu karena Bu Tut terlanjur masak
nasi. Sebentar lagi matang kata beliau, setengah jam lebih, feeling saya
mulai nggak enak. Dan alamak ternyata tombol “Cook” belum dipencet. Target saya
sebelum maghrib sudah di Panarukan, yah akhirnya Bu Tut membelikan kami nasi.

Hanya
saya dan No yang makan, karena yang lain masih puasa, perjalanan ini memang
saya lakukan saat ramadhan kemarin. Dan kamipun berpisah di terminal Bondowoso,
bus hampir berangkat, No masih susah melepaskan pelukannya. Saya meyakinkan
pada No, kalau suatu saat akan jumpa kembali. No melepaskan pelukannya sambil
nangis, sampai jumpa lagi No, saya jarang menemukan teman setulus kamu,
beruntung sekali mengenalmu.
 |
| (Dari kiri) Mbak Retno, saya, Bu Tut, dan No |
Komentar
Posting Komentar