#3 BONDOWOSO DAN SECANGKIR KOPI ARABICA

        Bus perlahan melaju, kembali melanjutkan perjalanan menuju Bondowoso menemui salah satu sahabat baik saya. Dwi Retno namanya tapi saya lebih suka memanggilnya No saja, haha biar anti mainstream. Sebelumnya saya memang mengabarkan perjalanan ini padanya, No menyilakan saya mampir dan menginap di rumahnya. Kalau toh dia nggak jawab pesan saya waktu itu, sayapun tak masalah, dari Jember akan langsung ke Situbondo. Namun karena (katanya) No ini kangen, saya pun memutuskan mampir sebentar. Sebenarnya jarak antara Jember-Bondowoso ini tidak terlalu jauh, namun memang bus yang saya naiki ini cukup selow. Saya pun sampai di terminal Bondowoso pukul 20.30 WIB, No sudah berada di dalam terminal, mendapati saya turun dari bus dia langsung lari dan memeluk saya.
                Sedikit cerita tentang sahabat saya yang satu ini, dia termasuk mahasiswa yang dibully. Dikucilkan karena dianggap aneh, gak nyambung, dan kurang pintar. Setiap orang memiliki sisi unik masing-masing, namun tak setiap orang punya sisi baik seperti si No.  Bagaimanapun keadaannya di mata saya No ini adalah orang baik. Tak banyak yang mau berkawan dengannya, dan saya termasuk golongan minoritas itu. Makanya No sangat senang ketika saya mau mengunjunginya di Bondowoso. Kamipun langsung menuju kediaman No di gang Pelita. Sekitar bulan Mei 2015 saya pernah ke rumah No, untuk menghadiri pernikahannya. Waktu itu, gang rumah No masih sepi-sepi aja. Kali ini saya sangat tercengang dengan keadaan gang rumahnya yang dipenuhi kedai kopi. Waw kopi, satu benda, minuman, oleh-oleh atau apalah yang bagi saya sangat istimewa.
Kopi Arabica level 1 di kedai kopi samping rumah No

                Kopi bisa berarti identitas, bisa menjelaskan kondisi tanah, bisa menjadi cirri khas, karena tiap daerah pastilah memiliki cita rasa kopi yang beda pula. Saya diantar No menuju kamar istirahat, ternyata suaminya sedang dinas luar kota, kamipun tidur sekamar. Hanya meletakkan tas dan saya langsung menuju kedai kopi di samping rumah No. Saya pesan kopi Arabika Ijen level 1, menu kopi dengan level sengaja untuk menentukan tingkat kekentalan. Ngobrol kami jadi lebih asik ditemani aroma kopi, syukurlah gang rumah No sudah menjadi gang kopi yang diresmikan menteri pariwisata Arief Yahya sejak Maret 2017. Lepas diteraktir kopi oleh No, kamipun istirahat, menyiapkan stamina untuk jalan-jalan besoknya.
Ini rumah No di gang Pelita Bondowoso

                Rencana udah oke, mau ke sini, mau ke situ dan ujung-ujungnya mager wkwkwk. Yaaah ada kalanya capek di perjalanan, emang sayang sih, tapi misal dipaksain lebih sayang lagi kalau jatuh sakit. Jelang siang kita baru keluar rumah. Baru teringat ada museum kereta api di Bondowoso, saya tahunya malah dari Lawang Sewu di Semarang. Jadi waktu saya solo trip ke Lawang Sewu, saya menemukan banyak foto di salah satu sudut bangunan itu, liat-liat foto sembari membaca informasi terkait foto dan taraaa ketemulah informasi bahwa di Bondowoso terdapat museum kereta api. Benda-benda yang ada di dalam museum meliputi perlengkapan perkereta apian dari masa lampau hingga kini. Begini seharusnya piknik, tak melulu di tempat hits, sesekali perlulah kita mengenal sejarah di sekitar kita. selepas itu saya minta diantar ke alun-alun, kami ingin nostalgia dan foto-foto di sana.
Gerbong maut di alun-alun Bondowoso

                Sedikit kecewa karena saya tidak menemukan tulisan “Alun-alun Bondowoso” kemudian No mengantarkan saya ke perbatasan. Dan benar, kami menemukan gapura bertuliskan Bondowoso. Saya menjadwalkan jam 13.30 WIB sudah geser ke kota selanjutnya, Situbondo dan Panarukan. Namun sebelum itu saya diajak mampir ke kediaman Mbak Retno (kakak kandung No) perasaan ini keluarga namanya sama semua ya haha. Alhamdulilah Mbak Retno sekarang punya rumah sendiri, luas, adem dan nyaman, sayapun turut berbahagia. Kami pulang ke rumah No di gang Pelita,  Bu Tut, ibu No menahan saya untuk melanjutkan perjalanan, saya diminta makan terlebih dulu karena Bu Tut terlanjur masak nasi. Sebentar lagi matang kata beliau, setengah jam lebih, feeling saya mulai nggak enak. Dan alamak ternyata tombol “Cook” belum dipencet. Target saya sebelum maghrib sudah di Panarukan, yah akhirnya Bu Tut membelikan kami nasi.

                Hanya saya dan No yang makan, karena yang lain masih puasa, perjalanan ini memang saya lakukan saat ramadhan kemarin. Dan kamipun berpisah di terminal Bondowoso, bus hampir berangkat, No masih susah melepaskan pelukannya. Saya meyakinkan pada No, kalau suatu saat akan jumpa kembali. No melepaskan pelukannya sambil nangis, sampai jumpa lagi No, saya jarang menemukan teman setulus kamu, beruntung sekali mengenalmu.
(Dari kiri) Mbak Retno, saya, Bu Tut, dan No


Komentar