#1 PERJALANAN JEMBER, BONDOWOSO, SITUBONDO, PANARUKAN, BANYUWANGI


*Jember yang tertunda
        Perjalanan itu seperti panggilan, biasanya bila direncanakan malah hanya jadi wacana saja. Bagi saya, perjalanan adalah sesuatu yang sulit diprediksi. Seperti perjalanan saya ke timur pulau Jawa pada ramadhan kemarin. Mbah buyut sedang sakit waktu itu, namun sebelum beliau sakit, saya sudah terlanjur membeli tiket kereta menuju Jember. Mbah buyut selalu gelisah, beliau dirawat di rumah sakit awalnya. Tapi setelah perawat menyuntikkan obat tidur, beliau tidur pulas, berhari-hari. Kami sekeluarga memutuskan membawa Mbah buyut pulang, karena sudah kurang lebih 5 hari belum membuka mata. Tepatnya Senin 28/05/18, saya harus berangkat menuntaskan perjalanan keliling pulau Jawa. Namun Mbah buyut masih tidur pulas, saya dan Emak membantu Mbah buyut sarapan sebelum akhirnya saya pamit ke stasiun Caruban menuju Jember.
suasana kereta Logawa saat Ramadhan, menuju Jember
     “Mbah, saya pamit ke Jember hingga Banyuwangi, saya berdo'a setiap waktu agar Mbah lekas sembuh, katanya pengen lihat Anta nikah? cepet bangun ya!” sayapun mencium tangan Mbah buyut yang terasa lebih dingin dari sebelumnya. Anta adalah kakak ponakan saya, memang usianya lebih muda 4 tahun dari saya tapi tetep statusnya adalah kakak karena dia anaknya Budhe, kakak kandung dari Emak. Anta akan melangsungkan pernikahan pada bulan Agustus, tentu saja Mbah buyut ingin menghadirinya. Saya meninggalkan rumah dengan tidak tenang, namun perjalanan terus saya lanjutkan karena terlanjur membeli tiket kereta. Sesampainya di stasiun Caruban, saya membeli beberapa buah pear untuk berbuka di kereta.
Kebetulan saya membawa buku, jadi dari pada nganggur karena menunggu kereta, lebih baik baca buku. Setelah hampir 2 jam menunggu kereta Logawa, akhirnya saya bisa duduk di gerbong kereta ekonomi tersebut. Entah kenapa, rasanya saya malas melepaskan tas, buku yang tadi saya baca belum saya keluarkan lagi dari tas. Jatung berdebar lebih kencang saat ada telpon masuk dari Emak. Dan feeling saya benar, Emak mengabarkan Mbah buyut meninggal, perjalanan saya batalkan. Turun di stasiun terdekat, Nganjuk. Dan saya putar balik ke Ngawi untuk mengantar Mbah buyut ke peristirahatan terakhirnya.
ini Anta, menemani Mbah buyut di rumah sakit
saat belum disuntik obat tidur, kondisi Mbah masih sadar

*Revisi perjalanan Jember
                Menyesal adalah perasaan pertama yang saya rasakan saat melihat jenazah Mbah buyut masuk liang lahat. Mbah buyut bagi saya adalah seorang penasihat dan beliau adalah sosok wanita Jawa sejati. Alm. semasa hidupnya selalu mengenakan pakaian adat Jawa (kutubaru). Cita-cita alm. cukup sederhana, ingin melihat Anta menikah, tentunya ingin melihat saya menikah pula. Namun Tuhan lebih awal memanggilnya, mungkin agar bisa lebih nyaman menyaksikan pernikahan Anta di surga. Dan entah kapan saya akan menikah, bucket list saya hanya berisi destinasi keliling Indonesia. Niat ingin ikut tahlilan namun saya sedang udzur (keadaan dimana seorang muslim tidak dibolehkan sholat). Sampai 3 hari kepergian alm. saya masih saja menangis, rasa kehilangan dan penyesalan campur aduk. Hingga kedua mata saya benar-benar bengkak, Emak mengijinkan saya melanjutkan perjalanan yang tertunda.
                “Do’akan dari jauh, jangan nangis terus, kasihan Mbah buyut nanti gak tenang” dan hingga saya menulis ini, rasanya sulit membendung air mata. Rabu (30/05/18) kembali melanjutkan perjalanan, ada Bety di Jember, dia sahabat baik saya saat masih kuliah. Kembali menghubungi Bety, dan kali ini saya mendapatkan kursi kereta yang tidak terlalu nyaman (dekat toilet). Karena pesan mendadak jadi tidak bisa memilih kursi, tinggal beberapa saja yang kosong. Ada kursi kosong juga masih syukur, memang tidak nyaman apalagi perjalanan jauh. Akhirnya saya memutuskan untuk pindah ke kursi kosong di bagian tengah gerbong, tentu saja dekat jendela. Tempat itu pastilah dambaan para penumpang kereta pun juga saya. Karena tidak bisa menjalankan puasa ramadhan, saya makan secara sembunyi-sembunyi.

                Jalur kereta Logawa ini tidak bisa langsung ke arah Jember dari Mojokerto, harus berhenti dulu di Surabaya. Untuk ganti kepala kereta, barulah menuju Mojokerto, Pasuruan dan seterusnya hingga Jember. Tiba di stasiun Jember pukul 20.00 WIB, dan menunggu Bety menjemput saya. Ini memang bukan kali pertama saya ke Jember tapi ini kali pertama saya ke Jember naik kereta sendirian. Sambil menunggu Bety, saya jalan-jalan sekitar stasiun dan ambil gambar dengan smartphone yang mulai nipis baterainya. Setelah cukup puas saya foto-foto akhirnya Bety datang menjemput. Baru bertemu Bety lagi setelah sekian lama terpisah semenjak lulus kuliah 2013 lalu. Sebelum menuju rumah Bety, saya diajak makan bakso urat yang rasanya ajib banget. Karena nulisnya telat, saya jadi lupa nama warung bakso itu, hehe maaf ya. Kapan-kapan saya tanyakan Bety dah.
stasiun Jember nampak depan, jam 20.00 WIB

                Puas makan bakso kami naik motor menuju rumah Bety, dia tinggal berdua bersama suaminya. Sudah cukup malam waktu itu, mungkin sekitar 22.30 WIB. Tidak langsung menuju rumah, Bety berhenti di salah satu gardu komplek perumahan untuk beli sayur. Dalam hati saya “Whaaat? demi apa jam segini ada tukang sayur di gardu”. Mungkin Bety mendengar isi hati saya, dan dia bilang sudah hampir pagi, pedagang bersiap ke pasar. Melihat ibu itu, saya mendadak teringan Emak, beliau juga berdagang sayur di pasar. Yaaak perjalanan baru akan dimulai besok paginya, saya numpang nginap semalam di rumah Bety dan suaminya. *Bersambung…

penampakan gerobak sayur tengah malam


Komentar