#6 BERPAMITAN DENGAN BLUE FIRE, KAWAH IJEN


               
stasiun Kalisetail, perjalanan pulang ke Ngawi
“Sek…sek… arep podo nandi iki? cewek cewek lho *bahasa Jawa (sebentar…sebentar… pada mau kemana ini? cewek..cewek…lho) kami diberhentikan oleh salah satu petugas yang berjaga di terminal Licin.
                “Mau ke Paltuding, Pak” jawab Annisa sedikit gerogi.
                “Loh arep neng Ijen tho? berdua thok ini?”
                “Injih, Pak” jawab kami hampir bersamaan.
                Pak Petugas tersebut menyilakan kami istirahat sejenak di Licin, sembari lapor kepada petugas lain. Semua yang akan ke Paltuding akan diberhentikan di Licin untuk kemudian dimintai keterangan.
                “Di Paltuding, suhu sangat dingin, lagian loket dibuka baru dini hari nanti, istirahatlah di sini dulu, Nduk!” Pak Petugas (yang saya lupa namanya) memberi saran.
                Jarak antara Licin ke Paltuding masih cukup jauh, kami tidak disarankan ke Paltuding berdua. Jalan gelap dan harus melewati hutan yang cukup panjang. Saat saya sedang beristirahat di musholla Licin, Annisa mengabarkan kalau Julian, teman SMA-nya mau menyusul. Yah setidaknya sedikit lebih lega, ada laki-laki yang membersamai perjalanan kami. Tak berapa lama setelah Julian tiba, saya berkenalan dengan Julian, kami sedikit ngobrol lalu meninggalkan terminal Licin.
                Suhu perlahan mulai dingin, lebih dingin dari yang saya duga. Tangan Annisa nampak gemetar, ini permulaan tidak baik, karena Annisa tidak bisa mengendalikan lagi kemudi, sedangkan saya juga tak bisa ambil alih kemudi. Annisa memilih bertahan melawan dinginnya suhu menuju Paltuding, saya yang dibonceng hanya bisa berdo’a. Julian berada di belakang motor kami, hampir sampai Paltuding suara Annisa mulai gemetar, antara menangis dan kedinginan. Dia bilang tangannya tidak bisa digerakan, dengan sigap saya matikan mesin motor dengan mencabut kunci. Julian melompat dari motornya untuk menghentikan laju motor kami. Hah dramatis sekali, untunglah kami sudah sampai di Paltuding dengan selamat, hanya saja tangan Annisa beku.
Dari kiri, Julian, Annisa, saya, belakang saya ada Pamuji, yang pakai sleyer orange si Alit
berkacamata Dino, depannya ada si Andi, dan yang jaket biru si Era. Foto di depan perapian sebelum mendaki

              Saya menghangatkan tangan Nisa dengan menggenggamnya, Julian mengambil barang-barang Nisa menuju perapian. Annisa sudah lumayan membaik setelah menghangatkan badan di perapian salah satu warung di Paltuding.
                “Kenapa itu, Mbak?” tanya pendaki lain yang kebetulan juga berada di perapian.
                “Oh hanya kedinginan” jawabku.
            Obrolan selanjutnya, kami saling berkenalan. Pendaki yang tadi bertanya ternyata dari Bali, namanya Alit. Datang bersama rombongan yang juga dari Bali, Andi, Dino dan Era ditambah dengan solo traveler asal Malang, Pamuji. Jadilah kami ber-8 yang sepakat akan melakukan pendakian bersama-sama.
                Biasanya jalur pendakian dibuka pukul 01.00 WIB, namun bisa dibilang apes, saat kami hendak mendaki, cuaca kurang mendukung sehingga jalur pendakian baru dibuka pukul 03.00 WIB. Sedangkan blue fire akan hilang jelang subuh, blue fire adalah fenomena alam yang saya incar. Harga tiket masuk Rp. 7.500,- per orang, dan Rp. 5.000,- untuk biaya parkir motor. Kami mengumpulkan tenaga, dan berdo’a bersama sesuai keyakinan masing-masing sebelum mulai pendakian. Tidak semua beragama islam, Alit beragama Hindu. Membawa barang seperlunya saja, sisanya kami tinggalkan di tenda milik rombongan dari Bali. Tepat pukul 03.00 WIB kami melakukan pendakian, waktu tempuh normal sekitar 2-3 jam hingga bibir kawah Ijen, tempat di mana kita bisa menyaksikan fenomena blue fire.
                Blue fire merupakan femonema alam yang hanya terjadi di dua Negara, Indonesia dan Islandia. Fenomena ini terjadi sepanjang malam dan biasanya akan menghilang jelang subuh. Sebenarnya tidak benar-benar menghilang hanya saja kalah dengan cahaya matahari, sehingga blue fire tidak terlihat. Kami hanya punya sedikit kesempatan untuk menyaksikan fenomena alam tersebut, karena jarak tempuh dan medan yang lumayan nanjak. Sementara saya tak menggubris nafas yang sesak, tubuh lelah dan hambatan lain, motivasi terbesar adalah sampai di bibir kawah sebelum subuh.  Julian menyerah ketika hampir sampai di atas puncak, akhirnya berhenti di salah satu warung ditemani Annisa. Sisanya tetap melanjutkan pendakian.
saya mengenakan masker khusus saat berada dekat dengan kawah

                Hari sudah mulai terang, jam tangan menunjukkan pukul 04.30 WIB. Kami berada di atas kawah, masih harus turun untuk mendekat ke bibir kawah. Tiba-tiba Andi menyerah dan menunggu kami di atas, sisanya saya, Era, Dino, Alit dan Pamuji melanjutkan perjalanan. Saya menemukan banyak darah berceceran sepanjang jalan, dan berpapasan dengan beberapa penambang belerang. Ya penambang, mereka akan mencari belerang untuk selanjutnya dijual ke pengepul dengan upah yang tak seberapa. Namun anehnya masih banyak penambang yang bertahan dengan pekerjaan itu. Menurut saya pekerjaan itu berat. Medan yang sulit, belum lagi beban belerang yang harus mereka bawa, sudah sepantasnya para penambang ini mendapatkan upah layak.
potret salah satu penambang yang tengah istirahat

Pamuji, Era, saya, Alit dan Dino, foto ini diambil untuk menghibur kami yang gagal menjumpai blue fire hehe

                Kami menyerah pada pukul 05.30 WIB, blue fire gagal kami jumpai. Kaki saya mendadak lemas, berhenti untuk sekadar mengambil nafas. Antara lelah, kecewa, dan pengen nangis, tapi setidaknya kami sudah menyelesaikan hingga tahap akhir, meski akhirnya gagal. Itu artinya, saya harus kembali lagi ke Kawah Ijen untuk remidi perjalanan. Oy semakin mendekat, asap belerang akan semakin menebal, kita disarankan memakai masker khusus. Sejenis masker respirator, bila belum membawa masker tersebut, banyak yang menyediakan jasa sewa masker seharga Rp. 25.000,-. Saya memang tidak membawa masker khusus dan tidak berniat nyewa, dengan dalih masih kuat dengan aroma asap belerang meski aslinya untuk meminimalisir budget.
                Namun teman-teman menentang dan menyarankan saya menyewa masker tersebut dengan alasan keamanan. Akhirnya saya menyerah dan menyewa masker, saya semprotkan cairan alkohol terlebih dulu sebelum memakainya. Karena saya tak pernah tahu, masker tersebut pernah dibersihkan atau tidak. Karena gagal menjumpai blue fire, kami kembali ke puncak menemui si Andi. Pukul 06.00 WIB Alit menyiapkan sesaji untuk beribadah di puncak Ijen. Sedangkan saya sibuk mencari spot foto. Seusai beribadah sesuai kepercayaan agamanya (Hindu) Alit mengajak kami foto bersama, tak banyak foto yang kami ambil di puncak. Terlebih Andi mengalami Hypothermia (suatu keadaan dimana suhu tubuh tidak bisa menerima suhu dingin).
pemandangan saat turun ke Paltuding, abaikan yang jaket merah haha maap kilap

                Sarung tangan serta syal yang saya kenakan, saya berikan kepada Andi. Untuk urusan suhu tubuh, sepertinya saya masih kuat bertahan. Tak banyak perubahan, Andi masih mengalami Hypothermia, akhirnya kami memutuskan untuk turun bersama-sama. Sepanjang perjalanan turun perasaan saya didominasi rasa sedih. Bukan hanya karena gagal menjumpai blue fire tapi juga karena harus berpisah dengan orang-orang baik ini, tim pendakian kawah Ijen. Setidaknya sedikit lega ketika melihat Andi sudah mulai membaik, sepanjang perjalanan turun kami bercanda dan bernyanyi bersama. Terima kasih teman-teman, awalnya saya sendirian dari Ngawi tapi kalian melengkapi perjalanan ini. sebelum benar-benar berpisah, saya mengajak foto bersama di pintu pendakian, hah sayangnya si Pamuji sudah pulang duluan ke Malang, ya sudahlah. Kami bertukar nomor handphone dan membuat grup WA, dengan harapan bisa traveling bareng suatu saat nanti. Annisa, Julian, Alit, Andi, Era, Dino dan Pamuji terima kasih banyak, see you on the next trip. Selanjutnya saya diantar Annisa ke stasiun Kalisetail esok harinya, pamit pulang ke Ngawi.
Selesai........
kawah Ijen dan asap belerang yang nampak mengepul
 
minus si Pamuji, di depan pintu masuk jalur pendakian

Komentar