stasiun Kalisetail, perjalanan pulang ke Ngawi |
“Mau ke
Paltuding, Pak” jawab Annisa sedikit gerogi.
“Loh
arep neng Ijen tho? berdua thok ini?”
“Injih,
Pak” jawab kami hampir bersamaan.
Pak
Petugas tersebut menyilakan kami istirahat sejenak di Licin, sembari lapor
kepada petugas lain. Semua yang akan ke Paltuding akan diberhentikan di Licin
untuk kemudian dimintai keterangan.
“Di
Paltuding, suhu sangat dingin, lagian loket dibuka baru dini hari nanti,
istirahatlah di sini dulu, Nduk!” Pak Petugas (yang saya lupa namanya) memberi
saran.
Jarak antara
Licin ke Paltuding masih cukup jauh, kami tidak disarankan ke Paltuding berdua. Jalan gelap dan harus melewati hutan yang cukup panjang. Saat saya sedang
beristirahat di musholla Licin, Annisa mengabarkan kalau Julian, teman SMA-nya
mau menyusul. Yah setidaknya sedikit lebih lega, ada laki-laki yang membersamai
perjalanan kami. Tak berapa lama setelah Julian tiba, saya berkenalan dengan
Julian, kami sedikit ngobrol lalu meninggalkan terminal Licin.
Suhu perlahan
mulai dingin, lebih dingin dari yang saya duga. Tangan Annisa nampak gemetar,
ini permulaan tidak baik, karena Annisa tidak bisa mengendalikan lagi kemudi,
sedangkan saya juga tak bisa ambil alih kemudi. Annisa memilih bertahan melawan
dinginnya suhu menuju Paltuding, saya yang dibonceng hanya bisa berdo’a. Julian
berada di belakang motor kami, hampir sampai Paltuding suara Annisa mulai
gemetar, antara menangis dan kedinginan. Dia bilang tangannya tidak bisa
digerakan, dengan sigap saya matikan mesin motor dengan mencabut kunci. Julian
melompat dari motornya untuk menghentikan laju motor kami. Hah dramatis sekali,
untunglah kami sudah sampai di Paltuding dengan selamat, hanya saja tangan
Annisa beku.
![]() |
Dari kiri, Julian, Annisa, saya, belakang saya ada Pamuji, yang pakai sleyer orange si Alit berkacamata Dino, depannya ada si Andi, dan yang jaket biru si Era. Foto di depan perapian sebelum mendaki |
Saya
menghangatkan tangan Nisa dengan menggenggamnya, Julian mengambil barang-barang
Nisa menuju perapian. Annisa sudah lumayan membaik setelah
menghangatkan badan di perapian salah satu warung di Paltuding.
“Kenapa
itu, Mbak?” tanya pendaki lain yang kebetulan juga berada di perapian.
“Oh
hanya kedinginan” jawabku.
Obrolan
selanjutnya, kami saling berkenalan. Pendaki yang tadi bertanya ternyata dari
Bali, namanya Alit. Datang bersama rombongan yang juga dari Bali, Andi, Dino dan Era ditambah dengan solo traveler asal Malang, Pamuji. Jadilah
kami ber-8 yang sepakat akan melakukan pendakian bersama-sama.
Biasanya jalur pendakian dibuka pukul 01.00 WIB, namun bisa dibilang apes, saat kami hendak
mendaki, cuaca kurang mendukung sehingga jalur pendakian baru dibuka pukul
03.00 WIB. Sedangkan blue fire akan hilang jelang subuh, blue fire
adalah fenomena alam yang saya incar. Harga tiket masuk Rp. 7.500,- per orang,
dan Rp. 5.000,- untuk biaya parkir motor. Kami mengumpulkan tenaga, dan berdo’a
bersama sesuai keyakinan masing-masing sebelum mulai pendakian. Tidak semua
beragama islam, Alit beragama Hindu. Membawa barang seperlunya
saja, sisanya kami tinggalkan di tenda milik rombongan dari Bali. Tepat pukul 03.00
WIB kami melakukan pendakian, waktu tempuh normal sekitar 2-3 jam hingga bibir
kawah Ijen, tempat di mana kita bisa menyaksikan fenomena blue fire.
Blue
fire merupakan femonema alam yang hanya terjadi di dua Negara, Indonesia
dan Islandia. Fenomena ini terjadi sepanjang malam dan biasanya akan menghilang
jelang subuh. Sebenarnya tidak benar-benar menghilang hanya saja kalah dengan
cahaya matahari, sehingga blue fire tidak terlihat. Kami hanya punya
sedikit kesempatan untuk menyaksikan fenomena alam tersebut, karena jarak
tempuh dan medan yang lumayan nanjak. Sementara saya tak menggubris nafas yang
sesak, tubuh lelah dan hambatan lain, motivasi terbesar adalah sampai di bibir
kawah sebelum subuh. Julian menyerah ketika
hampir sampai di atas puncak, akhirnya berhenti di salah satu warung ditemani
Annisa. Sisanya tetap melanjutkan pendakian.
![]() |
saya mengenakan masker khusus saat berada dekat dengan kawah |
Hari sudah
mulai terang, jam tangan menunjukkan pukul 04.30 WIB. Kami berada di atas
kawah, masih harus turun untuk mendekat ke bibir kawah. Tiba-tiba Andi menyerah
dan menunggu kami di atas, sisanya saya, Era, Dino, Alit dan Pamuji
melanjutkan perjalanan. Saya menemukan banyak darah berceceran sepanjang jalan,
dan berpapasan dengan beberapa penambang belerang. Ya penambang, mereka akan
mencari belerang untuk selanjutnya dijual ke pengepul dengan upah yang tak
seberapa. Namun anehnya masih banyak penambang yang bertahan dengan pekerjaan
itu. Menurut saya pekerjaan itu berat. Medan yang sulit, belum lagi beban
belerang yang harus mereka bawa, sudah sepantasnya para penambang ini
mendapatkan upah layak.
potret salah satu penambang yang tengah istirahat |
![]() |
Pamuji, Era, saya, Alit dan Dino, foto ini diambil untuk menghibur kami yang gagal menjumpai blue fire hehe |
Kami menyerah pada pukul 05.30 WIB, blue fire gagal kami jumpai. Kaki saya
mendadak lemas, berhenti untuk sekadar mengambil nafas. Antara lelah, kecewa,
dan pengen nangis, tapi setidaknya kami sudah menyelesaikan hingga tahap akhir,
meski akhirnya gagal. Itu artinya, saya harus kembali lagi ke Kawah Ijen untuk
remidi perjalanan. Oy semakin mendekat, asap belerang akan semakin menebal,
kita disarankan memakai masker khusus. Sejenis masker respirator, bila belum
membawa masker tersebut, banyak yang menyediakan jasa sewa masker seharga Rp.
25.000,-. Saya memang tidak membawa masker khusus dan tidak berniat nyewa, dengan dalih masih kuat dengan aroma asap belerang meski aslinya untuk meminimalisir budget.
Namun teman-teman
menentang dan menyarankan saya menyewa masker tersebut dengan alasan keamanan. Akhirnya
saya menyerah dan menyewa masker, saya semprotkan cairan alkohol terlebih dulu
sebelum memakainya. Karena saya tak pernah tahu, masker tersebut pernah
dibersihkan atau tidak. Karena gagal menjumpai blue fire, kami kembali
ke puncak menemui si Andi. Pukul 06.00 WIB Alit menyiapkan sesaji untuk
beribadah di puncak Ijen. Sedangkan saya sibuk mencari spot foto. Seusai beribadah
sesuai kepercayaan agamanya (Hindu) Alit mengajak kami foto bersama, tak banyak
foto yang kami ambil di puncak. Terlebih Andi mengalami Hypothermia
(suatu keadaan dimana suhu tubuh tidak bisa menerima suhu dingin).
![]() |
pemandangan saat turun ke Paltuding, abaikan yang jaket merah haha maap kilap |
Sarung
tangan serta syal yang saya kenakan, saya berikan kepada Andi. Untuk urusan suhu
tubuh, sepertinya saya masih kuat bertahan. Tak banyak perubahan, Andi masih
mengalami Hypothermia, akhirnya kami memutuskan untuk turun
bersama-sama. Sepanjang perjalanan turun perasaan saya didominasi rasa sedih. Bukan
hanya karena gagal menjumpai blue fire tapi juga karena harus berpisah
dengan orang-orang baik ini, tim pendakian kawah Ijen. Setidaknya sedikit lega
ketika melihat Andi sudah mulai membaik, sepanjang perjalanan turun kami
bercanda dan bernyanyi bersama. Terima kasih teman-teman, awalnya saya
sendirian dari Ngawi tapi kalian melengkapi perjalanan ini. sebelum benar-benar
berpisah, saya mengajak foto bersama di pintu pendakian, hah sayangnya si
Pamuji sudah pulang duluan ke Malang, ya sudahlah. Kami bertukar nomor
handphone dan membuat grup WA, dengan harapan bisa traveling bareng suatu saat nanti. Annisa,
Julian, Alit, Andi, Era, Dino dan Pamuji terima kasih banyak, see you on
the next trip. Selanjutnya saya diantar Annisa ke stasiun Kalisetail esok harinya, pamit pulang ke Ngawi.
Selesai........
Selesai........
kawah Ijen dan asap belerang yang nampak mengepul |
Komentar
Posting Komentar